Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Sikap Orang Tua Ketika Anak Menjadi Pelaku Bullying

11 September 2024   19:30 Diperbarui: 11 September 2024   19:33 271
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bullying. (Sumber: shironosov via kompas.com)

Tidak pernah terbayangkan dalam benak setiap orangtua bahwa anaknya menjadi pelaku ataupun korban bullying. Perbuatan tidak terpuji yang sedang ramai yang membuat para orangtua penuh kekhawatiran. Khawatir anak mendapatkan perundungan dari temannya di sekolah, teman bermain di lingkungan rumah, teman les atau kursus, sampai orang asing yang tidak dikenal.

Zaman yang semakin berkembang ini bahkan cenderung sulit untuk diprediksi bahkan dikendalikan, membuat orangtua perlu ekstra untuk menjaga, mengawasi, dan mengasuh anaknya. Berusaha memberikan yang terbaik. Mulai dari pemenuhan kebutuhan sehari-harinya, fasilitas yang membantu tumbuh kembang anak, sampai memasukkan anak ke sekolah terbaik. 

Ketika orangtua sejenak saja membiarkan anak bersama lingkungannya, membiarkan ia beraktivitas bersama teman sebayanya. Tanpa pengawasan, anak malah terkena bullying dari lingkungannya. Rasa kesal dan amarah pasti menjelma dibenak orangtua. Mengingat bullying bisa menimbulkan trauma jangka panjang. Penyesalan seumur hidup pun bisa saja melekat pada orangtua korban bullying.

Tidak hanya orangtua korban bullying yang bertindak. Orangtua pelaku bullying pun harus mengambil sikap. Namun, apakah harus memarahi anak sampai berlebihan?

Tidak ada angin, tidak ada hujan. Tiba-tiba mendapatkan aduan dari sesama orangtua ataupun guru bahwa anak menjadi pelaku bullying di sekolah. Di satu sisi tidak percaya karena selama ini anak selalu menunjukkan sikap yang baik selama di rumah. Namun apa mungkin seorang guru berbohong tentang masalah penting seperti bullying.

Sebenarnya ada ciri atau tanda anak yang mungkin saja mengarah sebagai pelaku bullying. Di sini, orangtua perlu untuk lebih peka terhadap ciri atau tanda anak pelaku bullying. Sebagai bentuk pencegahan ketika anak menunjukkan gejala yang mengarah sebagai pelaku bullying. Orangtua bisa mengambil sikap lebih awal sebelum bullying benar-benar dilakukan.

Ciri atau tanda anak pelaku bullying bisa terlihat mulai dari sikap anak yang selalu merasa paling berkuasa. Memiliki tingkat egois tinggi dan cenderung tidak peduli dengan lingkungannya. Apalagi tentang perasaan orang lain. Ia juga enggan untuk meminta maaf karena merasa tidak pernah bersalah. Tidak pernah memasang wajah menyesal ketika melakukan kesalahan, serta tidak memiliki rasa empati kepada orang lain.

Untuk lebih jelasnya mengenai ciri anak pelaku bullying, bisa dibaca pada artikel Upaya Preventif Orangtua dengan Mengenali Ciri Anak Pelaku Bullying yang menjadi headline di Kompasiana.

Setelah mendeteksi bahwa ada kemungkinan anak menjadi pelaku bullying, orangtua bisa mengambil sikap lebih cepat sebelum bullying benar-benar terjadi. Seperti menumbuhkan rasa empati anak dengan mengajaknya melakukan kegiatan sosial di panti asuhan ataupun di jalanan. Mengajak anak untuk peka dan prihatin dengan keadaan orang yang lebih lemah dibandingkan dengan dirinya. Termasuk mencoba merubah sikap anak yang egois dan merasa paling benar sendiri.

Tentunya akan ada perbedaan sikap yang diambil bagi orangtua yang baru mendeteksi gejala pada anak menjadi pelaku bullying dengan orangtua yang mengetahui bahwa anaknya memang menjadi pelaku bullying. Misalnya mendapatkan aduan dari orangtua korban, pihak sekolah, atau bahkan orangtua mengetahui langsung perbuatan anak melakukan perundungan.

Sulit berada dalam kondisi tersebut. Di satu sisi merasa bersalah bahkan ada rasa gagal menjadi orangtua. Membuat anak tumbuh dan berkembang menjadi seorang perundung. Sekaligus marah kepada anak yang ternyata begitu teganya melakukan bullying kepada orang lain. Apalagi korban sampai terkena trauma fisik ataupun psikis. Belum lagi malu kepada pihak sekolah dan orangtua murid lainnya. Rasanya campur aduk dan terasa lengkap semua.

Ilustrasi memarahi anak. (Sumber: Shutterstock/DimaBerlin via kompas.com) 
Ilustrasi memarahi anak. (Sumber: Shutterstock/DimaBerlin via kompas.com) 

Sikap yang paling salah adalah dengan membiarkan masalah itu begitu saja. Dalam artian orangtua tidak mengambil sikap apa-apa. Selain meminta maaf kepada korban dan juga pihak sekolah. Bahkan sampai ikut menyalahkan pihak sekolah karena bullying dilakukan dalam pengawasan pihak sekolah. Termasuk menyalahkan didikan dari pihak sekolah. Saling menyalahkan tidak akan pernah ada ujungnya. 

Menyikapi anak yang menjadi pelaku bullying, orangtua harus bersikap tenang sekaligus tegas. Tenang agar tidak gegabah sampai terbawa emosi. Membuat kestabilan emosi anak semakin tak terkonrol. Sikap tegas diperlukan agar tak abai terhadap masalah penting ini. Tidak membiarkan begitu saja sehingga perlu penanganan yang lebih dalam.

Pertama, yang bisa dilakukan oleh orangtua adalah dengan berkomunikasi kepada anak. Komunikasi yang diciptakan bukan untuk memarahi atau menyudutkan anak. Namun orangtua harus mencaritahu bagaimana pandangan anak tentang perbuatan yang ia lakukan. Apakah ia melakukan tidak sengaja atau disengaja. Apakah ia merasa menyesal atau tidak sama sekali.

Tanyakan lebih dalam alasan anak melakukan perundungan. Dengan begitu, orangtua akan tahu sikap selanjutnya yang diambil seperti apa. Misalnya anak mengaku bahwa ia mengikuti temannya yang lain atau karena menonton sebuah video di YouTube. Mungkin juga karena anak tidak menyukai teman yang lebih pintar daripada dirinya. Begitu pun dengan alasan-alasan lainnya yang membuat anak melakukan perundungan.

Dari hasil diskusi itu, orangtua akan tahu alasan anak melakukan perundungan sehingga bisa menentukan langkah selanjutnya. Misalnya memberikan batasan anak menonton video di YouTube termasuk memberi filter video apa saja yang dapat ia tonton. Sikap lainnya sesuai dengan alasan anak melakukan perundungan.

Ilustrasi anak sedang berbicara dengan kedua orangtuanya. (Sumber: our-team/ Freepik via kompas.com) 
Ilustrasi anak sedang berbicara dengan kedua orangtuanya. (Sumber: our-team/ Freepik via kompas.com) 

Selain menanyakan alasan, langkah selanjutnya adalah memberitahu kepada anak bahwa perundungan adalah perilaku tercela. Berikan edukasi terkait dampaknya bagi sang anak akan seperti apa. Termasuk dampak dari perundungan yang ia perbuat bagi korban. 

Adapula anak yang tidak mengetahui bahwa bullying adalah tindakan yang salah. Tidak tahu apa yang ia perbuat adalah sebuah perundungan. Tidak mengerti apa itu perundungan dan seperti apa dampaknya. Ia hanya iseng semata. Merasa sedang bercanda saja dengan temannya. 

Untuk menyikapi hal ini, orangtua perlu memberikan edukasi bahwa perilakunya telah menyakiti orang lain. Beri pemahaman bahwa perbedaan akan selalu ia temukan di mana saja. Termasuk perbedaan pendapat dengan teman, bahasa yang digunakan, ras, suku, sampai kesalahpahaman. Namun bukan berarti anak berhak untuk melakukan apa saja. Ajari untuk menerima dan menghormati segala perbedaan. Menyikapi kesalahpahaman dengan kepala dingin.

Anak yang sulit menerima perbedaan sehingga memilih meluapkan emosinya dengan melakukan perundungan. Membuktikan bahwa anak sulit untuk mengontril emosinya. Orangtua perlu membantu anak untuk mengelola emosinya. Misalnya mengisi waktu dengan aktivitas positif yang tidak menyakiti orang lain. Justru menuntut anak untuk mau berkolaborasi dengan orang lain. Seperti menggambar, menari, bernyanyi bersama-sama, serta akitvitas positif lainnya.

Ilustrasi anak menggambar bersama teman-temannya.(Sumber: Shutterstock via kompas.com) 
Ilustrasi anak menggambar bersama teman-temannya.(Sumber: Shutterstock via kompas.com) 

Tidak hanya sekadar mencari tahu kesalahan yang terletak di anak saja, orangtua juga perlu intropeksi diri. Barangkali selama ini orangtua kurang memberikan perhatian kepada anak. Kurang memberikan apresiasi bahkan tidak mengajarkan atau mencontoh yang baik.

Bukan hanya anak yang belajar untuk berproses agar tumbuh kembang dengan baik, tetapi menjadi orangtua juga harus mau untuk belajar. Belajar menjadi orangtua itu seumur hidup. Tidak mengenal waktu ataupun guratan wajah yang menua. Orangtua harus mau untuk selalu bersama-sama dengan anak, belajar memainkan perannya masing-masing dengan versi terbaik yang bisa diberikan.

Ilustrasi guru dan orangtua murdi. (Sumber: Thinkstockphotos via kompas.com) 
Ilustrasi guru dan orangtua murdi. (Sumber: Thinkstockphotos via kompas.com) 

Untuk membantu tumbuh kembang anak, tidak hanya peranan orangtua. Perlu bantuan pihak lain yang turut memberikan lingkungan positif bagi anak. Maka dari itu, orangtua harus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk menangani anak pelaku bullying. Konsultasikan dengan pihak sekolah. Khususnya dengan wali kelas yang mengetahui keseharian anak di sekolah. Termasuk turut mengenal dengan teman anak di sekolah sampai orangtua murid lain.

Jika belum merasa tenang dengan kondisi anak yang menjadi pelaku bullying, tidak ada salahnya untuk melakukan konsultasi dengan profesional. Misalnya dengan dokter anak, psikolog anak, sampai guru spiritual yang paham nilai-nilai agama.

Meminta bantuan pihak lain bukan karena lemah. Justru sebuah sikap yang bijak yang dicerminkan oleh orangtua untuk membantu tumbuh kembang anak. Sekaligus merubah sikap-sikap buruk yang saat ini masih anak tunjukkan.

Ilustrasi orangtua konsultasi bersama psikolog. (Sumber: freepik.com/shurkin_son via kompas.com)
Ilustrasi orangtua konsultasi bersama psikolog. (Sumber: freepik.com/shurkin_son via kompas.com)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun