Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Upaya Preventif Orangtua dengan Mengenali Ciri Anak Pelaku Bullying

9 September 2024   15:00 Diperbarui: 10 September 2024   10:09 382
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bullying. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Pemberitaan tentang perundungan atau bullying semakin banyak dan tak ada hentinya. Seolah terus menghantui siapa saja yang berada dalam sebuah lingkungan. 

Nampaknya tidak ada ruang aman bagi siapa saja yang ingin melihat dunia yang luas ini. Belum apa-apa sudah penuh kekhawatiran dari adanya perundungan yang dapat menimpa siapa saja.

Bullying bisa dilakukan perorangan atau sekelompok orang. Maksudnya adalah untuk menyakiti seseorang. Dapat berbentuk fisik maupun non fisik.

Bullying secara fisik seperti melakukan sentuhan fisik yang berniat untuk menyakiti bahkan melukai. Seperti memukul, menendang, menggigit, menjambak ramabut, mencakar, meninju, meludahi, sampai merusah barang orang lain.

Sedangkan bullying non fisik bisa berupa verbal. Bullying secara verbal seperli berkata kasaj, meledek, memanggil seseorang dengan sebutan tidak pantas, mengancam, memeras, sampai menyebarluaskan aib seseorang.

Ketakutan akan ancaman bullying memang tak dapat dihindari. Mengingat kini bullying dapat terjadi di mana saja. Mulai dari lingkungan sekolah atau pendidikan, kantor, tempat umum, bahkan di media sosial.

Pelakunya pun beragam. Mulai dari teman, kerabat, sampai orang asing yang tidak kita kenal.

Biasanya pelaku bullying adalah orang-orang yang merasa dirinya lebih hebat dari korban. Tentunya memiliki power lebih sehingga berani untuk melakukan perundungan.

Misalnya badannya lebih besar, lebih senior, lebih tua, lebih berkuasa secara jabatan atau wewenang, sampai lebih kaya raya. 

Pelaku bullying akan memanfaatkan powernya untuk merundung korban yang menurutnya tidak memiliki power seperti dirinya. Ada yang memang murni dendam pribadi, tapi ada pula yang hanya sekadar iseng semata. Merasa lebih hebat sehingga merasa berhak untuk melakukan perundungan kepada seseorang yang dirasa lebih lemah dibandingkan dirinya.

Jelas perilaku atau kebiasaan ini tidak terpuji. Tidak pantas untuk ditiru. Tidak pantas juga untuk dibawa sampai dewasa.

Namun faktanya, kasus perundungan tidak hanya terjadi pada anak-anak saja. Orang dewasa pun bisa saja menjadi korban atau pelaku perundungan. Bagi pelaku perundungan, mungkin memang ada bibit-bibit bullying yang tertanam hingga terbawa sampai dewasa. Membuat bullying menjadi sebuah kebiasaan yang menurutnya adalah hal yang lumrah.

Melihat fakta tersebut, rasanya miris dan begitu takut anak kita akan berakhir demikian. Tentu sebagai orangtua ingin yang terbaik untuk anaknya. Termasuk ingin anaknya menjadi anak yang baik dalam segala hal. Tidak melakukan tindakan tercela atau kriminal apapun.

Ilustrasi bullying. (Sumber: shironosov via kompas.com) 
Ilustrasi bullying. (Sumber: shironosov via kompas.com) 

Sayangnya masih banyak orangtua yang kurang perhatian terhadap ciri-ciri pelaku bullying. Ketakutan anaknya terkena bullying di sekolah, membuat orangtua abai apakah anaknya melakukan bullying atau tidak. Padahal, perhatian orangtua terhadap gejala pelaku bullying dapat mengantisipasi kejadian buruk ke depannya. Sebagai bentuk pencegahan paling awal.

Tidak ada yang tidak mungkin jika anak sendiri lah yang menjadi pelaku bullying. Maka dari itu, orangtua juga tidak hanya fokus pada tanda-tanda korban perundungan. Namun juga peka terhadap sikap anak yang mungkin saja menjadi pelaku perundungan.

Anak yang terlihat merasa paling berkuasa adalah ciri utama pelaku perundungan. Kerap memerintah teman-temannya. Seperti membelikan jajanan sampai melakukan apapun yang ia mau. Hanya demi menunjukkan bahwa dirinya adalah yang paling berkuasa.

Pelaku perundungan juga kerap mementingkan diri sendiri. Memang ada kalanya harus mementingkan diri sendiri. Namun bukan berarti harus terus menerus egois dalam segala hal.

Sikap egois bisa menjadi bibit awal memicu bullying. Hanya peduli dan fokus pada kesenangan diri sendiri. Tanpa pernah mau mementingkan perasaan orang lain. 

Anak-anak pelaku bullying juga kerap marah kepada orang lain. Bahkan marah untuk hal-hal kecil sekalipun. Ia sulit untuk mengontrol emosinya sendiri sehingga meluapkan secara langsung apa yang ada dalam hatinya.

Bullying juga membuat anak tidak merasa bersalah. Ketika sudah melakukan bullying kepada orang lain, tidak ada rasa bersalah sedikitpun. Bahkan cuek saja dengan apa yang terjadi kepada korban bullying.

Lebih bahaya lagi ketika pelaku bullying merasa puas ketika korbannya merasa tersakiti. Bisa dikatakan ia sukses menunjukkan kuasanya karena berhasil membuat korban menangis.

Anak pelaku bullying tidak memiliki rasa empati. Tidak merasa iba dengan keadaan di sekitarnya. Mereka sama sekali tidak peduli dengan posisi korban. Tidak ada penyesalan atas kesalahan yang telah diperbuat.

Ilustrasi bullying pada anak dan remaja. (Sumber: Freepik via kompas.com) 
Ilustrasi bullying pada anak dan remaja. (Sumber: Freepik via kompas.com) 

Sulitnya dalam mendeteksi ciri-ciri pada anak yang melakukan bullying adalah perbedaan sikap anak di sekolah atau di lingkungan luar dengan sikapnya di dalam rumah yang ia tunjukkan kepada orangtua. 

Kerap kali anak yang melakukan bullying bersikap baik di dalam rumah. Menuruti perintah orangtuanya termasuk menunjukkan sikap lemah lembut. Namun saat berada di luar rumah, ia merasa paling berkuasa sehingga berani untuk melakukan perundungan.

Untuk itu, orangtua harus mau masuk dalam lingkungan anak di luar rumah. Tujuannya untuk mengawasi sekaligus mengontrol. Dengan begitu, orangtua akan mengetahui sikap anak di luar rumah seperti apa. Bisa aja terdapat perbedaan sikap anak ketika berada di luar rumah.

Misalnya anak yang merasa memiliki kuasa akan mengabaikan aturan di sekolah. Tidak peduli dengan aturan dan ingin melakukan apapun sesuka hati. Orangtua harus waspada ketika anak menunjukkan sikap penolakan atas aturan yang dibuat untuk membuatnya lebih disiplin.

Anak juga kerap bercerita tentang teman-temannya yang menunjukkan sikap merendahkan teman-temannya. Sikap ini perlu diwaspadai sebagai gelaja pelaku perundungan. Dapat menimbulkan merasa lebih baik bahkan memiliki power sehingga tidak apa-apa berbuat merendahkan kepada temannya yang lemah.

Paling mudah ditemukan adalah ketika menemukan barang yang bukan milik anak. Misalnya peralatan sekolah, sampai mainan yang bukan miliknya ada di dalam tas sekolah. Biasanya anak pelaku perundungan akan berdalih bahwa itu hanya meminjam saja dan besok akan ia kembalikan.

Ilustrasi bullying. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 
Ilustrasi bullying. (Sumber: SHUTTERSTOCK via kompas.com) 

Orangtua perlu mengawasi secara rutin. Perilaku mengambil barang orang lain biasanya akan dilakukan secara berulang. Ia merasa temannya tidak berhak memiliki barang lebih bagus dari dirinya. Merasa berhak mengambil barang orang lain karena dia berkuasa dan berani melawan.

Ketika mengantar atau menjemput anak, perhatikan bagaimana sikap teman-temannya. Apakah terlihat wajah takut atau enggan untuk menyapa serta berpamitan. Biasanya korban bullying enggan untuk menatap pelaku bullying. Memilih menunduk ketika berpapasan dengan pelaku. 

Jangan hanya sekadar mengantar jemput saja, orangtua juga perlu dekat dengan lingkungan anak secara langsung. Misalnya konsultasi dengan guru dan bersosialisasi dengan orangtua murid di sekolah. Dengan begitu, orangtua bisa lebih tahu bagaimana sikap anak ketika di sekolah saat tidak diawasi oleh orangtua. Barangkali selama ini ada keluhan dari teman-temannya yang tidak tersampaikan kepada orangtua.

Dengan mengetahui gejala-gejala pelaku perundungan sebagai langkah pencegahan, orangtua bisa memgambil tindakan lebih cepat dan efektif. Misalnya ketika anak terlihat menunjukkan ciri-ciri pelaku perundungan, orangtua dapat memberikan nasihat. Sampai akhirnya memutuskan untuk meminta bantuan profesional seperti psikolog anak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun