Menonton film Kabut Berduri butuh konsentrasi penuh. Terutama di menit-menit awal ketika pengenalan karakter dan masalah. Banyak informasi yang tidak boleh terlewatkan. Sekali saja terlewat maka akan kebingungan dengan cerita selanjutnya.
Film ini menggambarkan bahwa banyak permasalahan yang terjadi di wilayah perbatasan. Banyak warga setempat yang lebih percaya pada  mitos dibandingkan dengan bantuan dari pihak berwenang. Aktivis lingkungan pun turut menjadi sorotan. Ketika salah satu diantara mereka gugur, rasa solidaritas semakin tinggi dan tentunya menghormati para pahwalan suku mereka.
Minimnya kepercayaan warga setempat pada aparat setempat memang terbukti. Kecurigaan mereka bukan tanpa dasar. Banyak kasus keterlibatan aparat dalam kejanggalan-kejanggalan yang terjadi di wiliayah perbatasan. Yang diuntungkan adalah oknum aparat dengan para pelaku bisnis yang memanfaatkan momentum. Kasus ini pun sama. Tak luput dari campur tangan aparat.
Secara sinematografi tidak perlu diragukan lagi. Film Kabut Berduri memberikan visual keindahan Kalimantan yang menakjubkan. Sentuhan lokal yang otentik dan natural masih terasa dalam film tersebut. Membuat siapa saja begitu takjub melihat keindahan alam. Mulai dari hutan lebat di Kalimantan, pegunungan yang melintang, hingga air yang jernih menyegarkan.
Putri Marino menjadi senter utama dalam cerita dengan gaya yang nyentrik. Rambut bondol dan kacamata khasnya paling menarik perhatian penonton. Putri Marino bak polisi wanita yang profesional. Sorotan matanya tajam saat menyelidiki kasus. Adegan aksi satu lawan satu dengan lawan mainnya pun turut mendapatkan banyak pujian.
Meski tidak menyajika adegan romantis, adegan Putri Marino dengan Yoga Pratama begitu dalam dan mengalir begitu saja. Tanoa sentuhan fisik, hanya bermain dialog saat bekerja mengusut kasus, keduanya berhasil membawakan adegan manis. Membuat penonton tersentuh dan sadar bahwa keduanya saling peduli satu sama lain.
Sayangnya memang dari keutuhan film yang tidak disampaikan secara detail. Masih banyak PR yang harus dijawab sendiri oleh para penonton. Menimbulkan banyak spekulasi dan rasa penasaran tinggi usai menonton film ini.
Terutama pada akhir cerita yang dibiarkan begitu saja. Ketika pelaku sudah ditemukan, tetapi pelaku juga akhirnya menjadi korban. Entah mungkin memang ada petinggi yang ikut campur pada perkara ini. Atau mungkin mitos tentang Ambong memang benar adanya sehingga membalaskan dendam kepada pelaku utama.
Rasa penasaran tidak berakhir begitu saja. Penonton disuguhkan adegan anak kecil yang mencuci sepatu di sungai. Nampak aliran darah ketika sepatu itu dicuci. Ternya anak kecil itu adalah Bujang di tahun 1972. Namun sayang, tidak pernah dijelaskan secara detail terkait asal usul kaki Bujang yang berujung pincang.