Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Anak Kecanduan Game Online? Hati-Hati Terkena Gaming Disorder!

21 Juni 2024   19:33 Diperbarui: 22 Juni 2024   00:46 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramai di media sosial terkait pemberitaan seorang anak SMP yang meninggal dunia akibat kecanduan game online. Meski belum bisa dipastikan kebenaran terkait penyebab kematiannya, tetap saja menjadi bahan evaluasi untuk meningkatkan kewaspadaan kepada buah hati. Khususnya buah hati yang sudah mengenal permainan online.

Di zaman serba digital ini, memang sulit untuk tidak membiarkan anak berkenalan dengan kecanggihan teknologi informasi. Sekalipun orangtua bersikap tegas dengan memberikan larangan, tetap saja akan ada fase di mana anak di luar pengawasan orangtuanya. Misalnya saja saat di sekolah. Pada saat jam istirahat. Meski anak tidak mengenal game online, ia akan melihat lingkungan sekitarnya yang mayoritas sudah membawa gadget.

Larangan bermain ponsel juga tidak sesuai dengan cara belajar di sekolah. Mayoritas skema pendidikan saat ini adalah menggunakan teknologi. Di mana anak diberi posri untuk mencari jawaban pada internet. Rasanya tidak relevan lagi membatasi anak bermain ponsel padahal di sekolah pun melibatkan penggunaan ponsel.

Mungkin memang menjadi dilema bagi sebagian orangtua. Di satu sisi, orangtua ingin sang anak mengikuti perkembangan zaman. Melek pada teknologi mengingat zaman sekarang apapun sudah menggunakan kecanggihan teknologi. Namun di satu sisi, orangtua juga khawatir akan berbagai dampak buruk yang dihasilkan dari bermain gadget. Apalagi sampai mengakses situs-situs atau aplikasi yang tidak sesuai dengan umur sang anak.

Sebenarnya, orangtua tetap dapat mengawasi ponsel sang anak. Dengan menautkan email anak dengan email orangtua. Sehingga anak akan selalu meminta izin akses apabila akan mengunduh sesuatu di ponselnya.

Orangtua juga dapat mengontrol jam bermain anak. Misalnya hanya dipakai untuk keperluan sekolah saja. Atau saat hari libur dengan batasan waktu yang disepakati bersama.

Rasa-rasanya, anak zaman kini semakin canggih akalnya. Orangtua sering kecolongan dalam memberikan pengawasan. Alhasil, anak menjadi sulit dikontrol dalam apapun. Termasuk dalam memainkan ponselnya.

Mendidik anak zaman sekarang dan zaman dahulu sangatlah berbeda. Tidak boleh disamakan cara asuh dan pola didikannya. Anak zaman dulu, gemar bermain di luar rumah. Berkumpul dengan teman-temannya. Bermain sepeda bersama atau permainan tradisional khas Indonesia. Namun kini, anak sudah berkenalan dengan teknologi. 

Di mana sejak bayi pun, anak sudah diajak untuk selfie bersama menatap layar ponsel orangtuanya. Bisa terlihat bahwa sejak bayi, anak sudah dikenalkan dengan ponsel pintar.

Hal tersebut berdampak pada tumbuh kembang anak. Anak yang sedang pada fase tantrum, kebanyakan diberi tontonan YouTube lewat ponsel agar berhenti menangis. 

Pola didik seperti ini membuat anak berpikir bahwa dengan menangis, keinginannya akan dipenuhi. Salah satunya saat ia ingin memainkan ponsel orangtuanya.

Zaman dulu, entah pada umur berapa seorang anak bisa mendapatkan ponsel dari orangtuanya. Itupun mungkin harus mendapatkan juara kelas terlebih dahulu. Namun kini hal tersebut sudah tidak berlaku lagi. 

Banyak anak berseragam putih merah sudah membawa ponsel miliknya sendiri dengan harga ponsel yang fantastis. Biasanya anak perempuan suka mengalungkan ponselnya dengan tali warna-warni yang memberikan kesan lucu.

Di jam istirahat, anak-anak sibuk mabar (main bareng) game online. Mulai dari PUBG, Mobile Legend, sampai Free Fire. Tidak lagi bermain lari-larian, lompat tali, bola bekel, petak umpet, ataupun permainan tradisional lainnya yang menguji kekompakan secara nyata dan tidak menggunakan alat canggih. 

Ilustrasi bermain game online di smartphone (Dok. Shutterstock/Dean Drobot via kompas.com) 
Ilustrasi bermain game online di smartphone (Dok. Shutterstock/Dean Drobot via kompas.com) 

Kemajuan teknologi, membuat anak bisa bermain di mana saja tanpa harus berkumpul dalam satu tempat yang sama. Anak A dapat bermain di rumahnya dengan anak B yang bermain di rumahnya pula. Jarak keduanya jauh. Bisa sampai beda desa, kecamatan, kota, provinsi, bahkan berbeda negara. Lain halnya dengan zaman dulu yang harus bermain dalam satu tempat yang sama. Tidak bisa berjauhan.

Jika anak sudah terlihat kecanduan pada ponselnya. Tidak bisa lepas pandangan dan genggaman dari ponselnya, sebaiknya orangtua harus lebih waspada dan tegas menangangi kondisi ini. Tanda-tanda anak sudah pada fase kecanduan game online, seperti tidak lagi memiliki kontrol atas waktu bermain game. 

Saat ditegur, anak cenderung abai dan tidak peduli dengan perintah orangtuanya. Ia tetap memainkan ponselnya tanpa memikirkan dampak negatif yang sudah orangtuanya ceritakan. Selain itu, anak yang sudah kecanduan game online akan kehilangan minat pada aktivitas apapun. Ia akan cenderung mengutamakan bermain game dibandingkan dengan aktivitas lainnya.

Kondisi kecanduan game online disebut dengan gaming disorder. Gaming disorder tidak hanya akan menyerang anak-anak saja. Orang dewasa juga bisa saja terjadi gaming disorder jika memang sudah kecanduan bermain game online. 

Sejak awal tahun 2018, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah memasukkan gaming disorder sebagai gangguan mental. Hal tersebut menjadi pengingat bahwa perilaku bermain game secara berlebihan memang tidak baik bagi kesehatan. Sudah seharusnya mendapatkan penanganan medis yang serius.

Dikutip dalam halodoc, gaming disorder didefinisikan sebagai kebiasaan atau pola bermain game yang berkepanjangan. Tak jarang, kebiasaan ini membuat seseorang lebih memprioritaskan bermain game daripada harus menjalani aktivitasnya sehari-hari, termasuk makan, minum, mandi, tidur, bersosialisasi, sekolah, hingga bekerja.

Anak yang sudah terkena gaming disorder akan sulit mengendalikan hasrat untuk bermain game. Ia akan menghabiskan waktunya hanya untuk bermain game dengan durasi yang semakin meningkat. 

Anak juga lebih sensitif, cenderung mudah marah dan tersinggung apabila mendapatkan penolakan bermain game. Ia juga kehilangan fokus mengerjakan aktivitas lainnya karena yang ada dalam pikirannya hanya ingin segera bermain game saja.

Saat anak mengalami gaming disorder, maka ada perubahan fungsional dan struktural dalam sistem saraf. Kecanduan game online dapat memengaruhi otak, bahkan menyebabkan perubahan diberbagai bagian otak. 

Melihat betapa buruknya dampak terkena gaming disorder, sudah seharusnya orangtua mulai memberikan perhatian lebih pada durasi anak bermain game. Hal tersebut tentunya agar menghindari gejala-gejala kemungkinan yang terjadi akibat gaming disorder.

Orangtua juga harus bisa menciptakan suasana menyenangkan yang terlihat lebih membuat sang anak nyaman dibandingkan dengan ponselnya. Setiap anak memiliki kesukaan yang berbeda. 

PR besar bagi orangtua untuk mengetahui kegiatan apa yang bisa membuat anak lupa dengan ponselnya. Tentunya dengan kegiatan positif. Baik itu di dalam rumah, ataupun di luar rumah.

Selain itu, orangtua tidak hanya sekadar membelikan ponsel lalu memberikan kepada sang anak saja. Namun orangtua bertugas untuk menjelaskan fitur-fitur beserta kegunaannya. 

Berikan penjelasan sederhana agar anak mudah mengerti. Buat kesepakatan bersama antara anak dan orangtua. Terkait durasi memainkan ponsel sampai persetujuan apa saja yang diunduh dalam ponsel anak.

Ilustrasi anak bermain gadget. (Sumber: techcrunch.com via kompas.com) 
Ilustrasi anak bermain gadget. (Sumber: techcrunch.com via kompas.com) 

Nah, yang jadi pertanyaan, bagaimana jika anak sudah terlanjur menunjukkan gejala gaming disorder? Maka tindakannya bukan lagi tentang pencegahan, tetapi sudah pada tahap penyembuhan. 

Di tahap pertama, orangtua pasti kesulitan untuk memberikan batasan kepada anak. Apalagi anak akan memberontak sampai tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Orangtua harus tegas dan belajar untuk tega demi kebaikan sang anak sendiri.

Alihkan fokus anak pada aktivitas lain. Meski terdengar sulit, tapi coba secara perlahan agar ia lupa dengan ponselnya dan kebiasaan bermain geme. 

Berikan reward jika anak berhasil mengurangi durasi bermain game online. Sebagai bentuk penghargaan dan motivasi agar anak merasa tidak menyesal karena mengurangi aktivitas yang ia sukai. Dengan begitu, ia juga tidak merasa terbebani dengan adanya pengurangan durasi bermain game online.

Alangkah lebih baik lagi jika melibatkan peran psikolog anak dalam penyembuhan anak yang terkena gaming disorder. Orangtua mendapatkan pendampingan dalam menyembuhkan sang buah hati. Tenaga profesional tentunya lebih ahli dan berkompeten dalam menangani kasus seperti ini.

Tidak usah malu atau merasa keberatan jika harus melibatkan orang lain pada parenting anak. Toh semua orangtua di dunia ini pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Membawa anak pada psikolog anak agar bisa lepas dari gaming disorder adalah keputusan yang bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun