Dua hari berbaring di rumah sakit. Rasanya begitu ingin melepaskan infusan yang menusuk. Begitu membuat tidak nyaman. Tak bebas bergerak.
Dua hari pula tak bisa tertidur. Padahal dokter berkata bahwa terkandung zat yang membawa kantuk pada resep obat yang diberikan untukku. Nyatanya sama aja. Kantuk hanya datang dan pergi begitu saja. Sesaat, lalu menghilang.
Hening. Tak ada suara apa-apa selain napasku yang tak beraturan. Meski tadi siang sudah di uap, nyatanya sama saja. Masih tetap kesulitan bernapas.
Beruntungnya malam ini bisa mencuri kesempatan membuka ponsel. Handphone yang tergeletak begitu saja di atas meja dekat ranjang. Meski sedikit effort lebih untuk menggapainya. Mudah, cukup dengan sedikit menekan tombol ranjang agar lebih berdiri tegak.
Seperti dugaan, tak ada satupun pesan dari siapapun. Perkara pekerjaan atau bahkan orang yang menunjukkan kepeduliannya atas keadaanku yang tidak baik-baik saja.
Beralih pada media sosial lain. Membaca beberapa berita yang tak hentinya membahas politik. Termasuk kabar keputusan MK yang baru saja malam itu berakhir final.
"Ah bosan!" keluhku dalam hati.
Tiba-tiba saja terlintas satu nama dalam pikiran. Teman lama sewaktu kuliah yang biasanya hampir setiap hari ku lihat perawakannya. Namun, setelah kami lulus, tak pernah ada lagi kesempatan untuk berjumpa.
Baiklah, aku mencoba mengirimkan pesan singkat via WhatsApp. "Ca? Udah tidur belum?"
Selang beberapa menit, pesan masuk terlihat notifikasinya.Â
Sahabatku Aca memang terlihat dingin tapi sebenarnya menaruh kepedulian hebat. "Belum," jawabannya singkat.
"Ganggu gak? Boleh telfon?" balasku lagi.
Aku tak berharap ia akan mengiyakan. Karena biasanya kami hanya berbalas pesan saja. Urusan telfon hanya perkara organisasi saat kuliah. Itupun saat terdesak saja.
Justru bukan notifikasi pesan yang terlihat pada layar. Malah telfon darinya yang nampak.
Segera ku angkat. Sembari menyapa, "Hallo!"
"Kenapa lu? Tumben nyuruh gua nelfon," tanyanya dengan suara khas Betawinya yang kental.
"Enggak, gabut aja. Tumben lu belum tidur. Kenapa?" tanyaku lagi.
"Sama. Gua juga gabut. Gak bisa tidur,"Â paparnya tepat pada jarum jam panjang berada di angka 12. Dengan jarum jam pendek di angka 2.
Masih dengan mode basa-basi. Mengingat kami sudah lama tak saling sapa. "Kalau gabut, suka ngapain?"
Ia berpikir sejenak, lalu menjawab, "Rebahan paling. Main game atau baca buku sampai bosen."
Ternyata kami masih memiliki kesamaan. Sama-sama memiliki aktivitas yang terlihat itu-itu saja.
Perbincangan basa-basi itu mulai luntur ketika kami saling mengabarkan keadaan masing-masing. Tepatnya menceritakan kegiatan dan pekerjaan masing-masing.
Sampai akhirnya ia menceritakan dua orang temannya di kantor yang begitu kontras berbeda.
"Umur mereka udah kepala 3. Sudah S2 juga keduanya. Tapi bedanya, yang satu masih kaya anak kuliahan yang penuh ambisi. Sedangkan satunya lagi udah ngerasain pahit manis kehidupan. Jadinya lebih flat aja," katanya.
Aku berseru, "Gua persis ada di fase yang kaya temen lu itu. Yang berasa flat aja. Emangnya salah ya?"
Suaranya tak terdengar. Seperti sedang memilih dan memilah kata agar tak menyinggung perasaan.
"Enggak salah kok. Selagi masih punya api. Sedikit aja meski cuma setitik api, setidaknya buat nyeimbangin kurva kehidupan. Biar gak selalu di bawah," jelasnya.
Ya, inilah Aca. Adik tingkat di organisasi yang tak terlihat lebih muda satu tahun dibandingkan aku. Pemikirannya dewasa dan kami sering bertukar pendapat tentang kehidupan.
"Lu ngerasa gak sih kalau makin ke sini makin introvert? Jatohnya ansos gak sih? Wajar gak sih ada di fase ini?" tanyaku lagi yang mulai menceritakan kekhawatiranku.
"Hmm, gua juga gitu kok. Lama kelamaan makin tertutup aja. Kayanya emang gituh gak sih fasenya?"
Aku mengangguk meski ia tak bisa melihat gerakan kepalaku itu.
"Entahlah. Jadi apatis aja sama sekeliling. Bahkan sama orang terdekat sekalipun,"Â ungkapku.
Aca malah tertawa. "Hahaha. Jiwa sosialisasi lu udah abis waktu zaman kuliah. Semua masalah lu pikirin. Ampe masalah negara aja lu demo-in haha," candanya.
Dulu, kami memang sama-sama aktif di Ormawa. Kami kerap terdepan dalam menyuarakan kebenaran. Masa-masa paling emas yang pernah kami lalui bersama.
Aku tertawa pula dengan candaannya. Seolah me-recall memori manis bin absurd pada zaman bergelar Maha.
"Selama lu masih punya api, meskipun cuma setitik. Aman kok,"Â tambahnya lagi.
Aku menjelaskan, "Ya ada kok. Gua bukan jadi manusia yang anti sama ambisi. Tapi bedanya kalau sekarang lebih berserah aja. Berserah ya, bukan pasrah! Kalau gak dapet ya gak apa-apa. Kalau dapet yang dimau, ya syukur Alhamdulillah. Lebih rileks aja ngejalaninnya. Sesuai aturan. Pelan-pelan."
Ia langsung menyambut dengan penuh keyakinan, "Ya bagus. Gak perlu dikhawatirkan. Gak ada yang salah kok dengan cara lo yang saat ini dalam menjalani hidup. Dalam memandang kehidupan. Ya setiap orang punya versinya masing-masing. Yang terpenting, nikmatin aja versi sendiri!"
Selalu, selalu saja Aca bisa membaca pikiranku dengan mudah. Berkali-kali aku harus bersyukur memiliki teman yang bisa memahamiku tanpa perlu aku jelaskan panjang lebar.
"Kita harus punya kendali diri sendiri ya? Ibaratnya harus punya stir kehidupan. Kita harus tahu kapan belok kanan atau kiri. Kapan harus maju, kapan harus injek gas, atau mungkin injek rem. Atau mungkin ada saatnya untuk kita putar balik,"Â balasku.
"Itu lu pinter jawabnya! Emang kadang manusia tuh butuh pancingan hal-hal positif aja. Padahal ia sendiri juga udah tahu jawaban terbaiknya apa."
Aku hanya menjawab dengan tawa ringan, "Hehe."
"Lu di mana?" tanyanya. Pertanyaan ini untuk memastikan posisiku. Apakah di tempat perantauan atau di kampung halaman.
Langsung ku ubah pada mode video call. "Pencet VC-nya."
Matanya terbelalak ketika melihat aku terbaring di ranjang rumah sakit. Lengkap dengan infusan dan alat bantu pernapasan.
"Lu sakit? Di rawat? Tau gituh udah gua suruh tidur dari tadi! Malah curhat panjang lebar ini itu," katanya dengan nada tinggi.
Aku hanya tertawa muka paniknya. Persis seperti tujuh tahun lalu saat kami bertemu di Ormawa.
"Sakit apa? Abis nelen obat nyamuk merek apa?" tanyanya kesal.
"Gila lu! Lu pikir gua sebego itu!" jawabku kesal.
"Iya maaf deh. Biasanya kalau galau gak ada yang nemenin, lu bisa lupa diri haha!"Â Tawanya lebih kencang lagi.
"Berisik! Lu dari dulu kagak berhentinya ngatain ya!"Â
Telfon itu berakhir setelah ia menyuruhku untuk istirahat. Tanpa terasa adzan subuh segera berkumandang. Sudah saatnya bersiap ditemui oleh suster yang mengecek infusan. Temanku Aca juga harus bersiap-siap bekerja.
Cerita ini memang tidak menarik bagimu. Namun sangat berarti untukku. Saat berada di posisi terendah, ternyata masih ada teman di masa lalu yang mau meluangkan waktunya untuk menjadi pendengar yang baik.
Begitu sulit memiliki pendengar yang baik di usia-usia yang sudah sibuk dengan kehidupan masing-masing. Sibuk pamer pencapaian, sibuk dengan urusan keluarga barunya, sampai sibuk mementingkan diri sendiri tanpa memberikan rasa iba kepada sekeliling.
Banyak orang yang menyepelekan cerita seseorang. Padahal menjadi pendengar yang baik bisa saja mengurungkan niat seseorang untuk mengakhiri hidupnya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H