Suatu hari, seperti biasa mereka pergi ke tempat transaksi barter. Sekilas nampak seperti sebuah pasar. Masyarakat di komunitas tersebut dapat menjual dan menukar apapun. Sesuai dengan kebutuhan mereka.
Begitu juga dengan Choi Ji-wan dan Nam-san. Mereka menjajakan hasil buruannya yang sangat menggoda.Â
Meski menerapkan sistem barter, Nam-san tahu betul kondisi yang sedang terjadi. Sebagian masyarakat yang bertahan hidup sudah tidak memiliki apa-apa selain semangat mereka untuk terus melanjutkan hidup.Â
Salah satu pelanggan mereka adalah Han Su-na dan neneknya. Han Su-na masih berumur 18 tahun. Setelah bencana itu terjadi, sulit sekali melihat anak kecil dan anak muda bisa selamat daru tragedi itu.
Suatu hari, ada sekelompok dari komunitas lain yang mengunjungi Han Su-na. Mereka menawarkan tempat tinggal yang layak bagi Han Su-na dan neneknya.
Menurut penuturan mereka, komunitas mereka memiliki kehidupan yang sangat layak. Sayangnya, mereka hanya memberi kesempatan kepada anak muda saja untuk meneruskan generasi.
Komunitas mereka tinggal di apartemen yang menjadi satu-satunya bangun yang tersisa pasca gempa bumi itu. Tidak hanya fasilitas apartemen yang lengkap, komunitas itu sama sekali tidak mengalami kekeringan.Â
Mereka berhasil mengelola sumber air dengan baik. Menanam sayur dan buah-buahan segar di area apartemen.Â
Penjagaan dan pengawasan di komunitas tersebut pun sangat ketat. Para militer bersenjata mengelilingi area apartemen. Sudah dapat dipastikan tidak ada yang berani menganggu kenyamanan komunitas itu. Semua orang akan taku melihat para militer bersenjata.
Han Su-na dan neneknya tergiur dengan tawaran itu. Mereka pun ikut bergabung dengan komunitas apartemen itu.
Baru satu hari bergabung, Han Su-na merasa ada yang tidak beres. Bahkan ia tidak mengetahui keberadaan neneknya.Â