Kamu pernah berkata, bahwa kamu akan berhenti menulis sebab ia enggan untuk membaca tulisanmu.
Mungkin terdengarnya konyol.
Bahkan terlalu rumit untuk dianalogikan.
Terkadang, manusia lupa untuk bersyukur.
Terlalu asyik terpaku mengerjar langit,
sampai lupa untuk melirik yang sedang memberi pundak untuk mendaki langit.
Kamu menulis untuknya, dan aku menulis tentangmu.
Ada yang harus kamu perhatikan.
Kita begitu berbda dalam merangkai aksara.
Aku memang menulis tentangmu,
tapi bukan berarti kamu wajib untuk membacanya.
Kau berhak menngabaikan,
bahkan mungkin menganggap aksaraku tak hidup.Â
Aku tak pernah memaksamu untuk memberi nyawa,
agar seolah-olah aksaraku menari-menari dalam kehidupan kita.
Aku mempersilahkan dengan suka rela,
bagi siapapun yang ingin mengkonsumsi aksaraku.
Karena dunia ini perlu tahu bagaimana kamu dalam sudut pandangku.
Jika kau memang enggan untuk membacanya, tak apa.
Aku menulis memang tentangmu,
dan itu adalah hakku.
Aku juga berhak mencintaimu,
dan kau berhak untuk mencintai yang lain.
Selama aku masih diperbolehkan dan mampu untuk merangkaimu lewat tulisanku,
maka tentu akan terus aku lakukan semampuku.
Sampai kapan?
Sampai engkau benar-benar menjadi nyata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H