Film tentang perjalanan spiritual sudah sering menghiasi bioskop Indonesia. Mungkin yang paling melekat adalah kisah perjalanan Hanum dan Rangga.
Film Merindu Cahaya de Amstel mencoba memberi nuansa baru untuk film religi Indonesia. Diadaptasi dari novel legendaris Arumi E. Skenario dikemas dengan apik oleh Benni Setiawan. Konon katanya diangkat dari kisah nyata perempuan Eropa yang merasa terselamatkan hidupnya oleh Islam.
Rilis pada 20 Januari 2022. Meski sudah satu tahun lebih, tetapi film ini masih cocok ditonton di akhir tahun 2023. Apalagi kini sudah bisa ditonton secara online di vidio dan Maxstream. Disutradarai oleh Hadrah Daeng Ratu dengan durasi film 107 menit.
Tak ragu-ragu, Film ini menggaet Amanda Rawles dan Bryan Domani menjad center cerita. Keduanya sudah membintang banyak film. Namun dalam film ini penonton akan dapat mengukur sejauh mana kemampuan keduanya berperan menjadi karakter yang berbeda daripada sebelumnya.
Khadija Veenhoven yang diperankan oleh  Amanda Rawles adalah seorang wanita Eropa yang menjadi seorang mualaf. Khadija adalah mahasiswi sastra Indonesia yang begitu fasih berbahasa Indonesia. Dulunya dia adalah wanita bebas seperti wanita Eropa lainnya. Segala macam perbuatan burk ia akui pernah melakukannya di masa lalu.
Singkat cerita, ia memergoki pacarnya selingkuh dengan wanita lain. Tentu dia marah besar. Tak terima atas kemarahan Marien (nama sebelum menjadi mualaf), mantan kekasihnya membagikan video mesra mereka.
Berlatang belakang keluarga yang religius, tak tanggung-tanggung Marien diusir dari rumahnya. Marien memutuskan bunuh diri, namun aksinya itu digagalkan oleh Muslimah bernama Fatimah (Oki Setiana Dewi). Melalui Fatimah-lah, Marien dikenalkan dan belajar tentang agama Islam.
Bryan Domani sebagai Nicholas adalah seorang non-muslim yang berprofesi sebaga jurnalis. Ia sempat tinggal di Indonesia sehingga fasih berbahasa Indonesia. Tanpa sengaja ia memotret Khadija yang sedang berjalan. Ia menunjukkan hasil fotonya itu kepada pemimpin redaksi dan rekan kerjanya Joko (Ridwan Remin) yang seorang Warga Negara Indonesia. Ajaibnya, dalam foto itu hanya Khadija yang bercahaya padahal di dalam foto itu juga terdapat beberapa orang yang sedang berlalu lalang.
Pemimpin redaksi memberi tugas kepada Nicho dan Joko untuk membuat artikel tentang Muslimah di Eropa. Nicho berupaya agar Khadija mau untuk dimuat foto dan kisahnya di media. Namun Khadija sempat menolak.
Ketika proses negosiasi itu berlangsung, Rachel Amanda sebagai Kamala membuat komunikasi Khadija dan Nicho malah semakin intens. Kamala adalah mahasiswa Eropa yang berasal dari Indonesia. Ia adalah teman Joko dan kebetulan pernah bertemu dengan Khadija di dalam Bus.
Singkatnya, Kamala juga menjadi kenal dan akrab dengan Nicho. Kamala secara terang-terangan mengatakan kepada Khadija bahwa ia menyukai Nicho. Namun Nicho terus berupaya untuk mendapatkan perhatian dari Khadija. Sedangkan Khadija menjaga perasaan Kamala dan mencoba menganggap Nicho hanya sebatas teman karena perbedayaan keyakinan diantara mereka.
Alur cerita dari film ini sebenarnya sudah cukup klise. Menceritakan cinta segitiga dan cinta beda agama. Namun Amanda Rawles berhasil menghidupkan cerita. Sepertinya jika bukan Amanda Rawles, film ini tidak akan memberi kesan apa-apa. Amanda Rawles berhasil mencerminkan seorang muslimah yang semestinya. Ia sopan, ramah, lembut dan yang paling sering disorot adalah selalu tersenyum.
Penonton akan dibuat takjub dengan penampilannya yang super duper mirip orang bule Eropa, apalagi saat adegan tanpa hijab. Aksen bahasa Indonesia yang dipengaruhi oleh bahasa Belanda juga berhasil ia ucapkan dengan rapi. Amanda Rawles paling cemerlang dalam film ini.
Sepanjang menonton film, penonton akan dimanjakan dengan suguhan latar Belanda yang indah. Suasana perkotaan, suasana jalanan dan tempat-tempat umum yang begitu khas. Tambahannya penonton bisa jalan-jalan di Belanda lewat film ini. Namun sangat disayangkan, ada beberapa adegan yang terlalu ngeblur. Entah disengaja atau bagaimana, tetapi filter yang terlalu ngeblur membuat muka halus Amanda Rawles semakin mulus lagi. Wajah cantiknya yang bak Barbie berhijab hampir tak terlihat lekukan wajahnya. Sangat disayangkan dan cukup menganggu mata saat menonton beberapa adegan.
Mulanya film ini begitu menarik dan natural. Meski latar belakang para tokoh terkesan dipaksakan agar dominan menggunakan bahasa Indonesia, tetapi semuanya masih berjalan mulus di menit-menit awal. Pertemuan antar tokoh yang tanpa sengaja begitu terlihat natural. Terutama saat adegan makan siang bersama di sebuah kafe. Mereka asyik memberikan guyonan satu sama lain yang sesekali mengundang tawa penonton. Sangat disayangkan saat memasuki konflik cerita, semuanya serba nanggung.
Spiritual Journey tidak hanya tentang Khadija ataupun Nicho, tetapi juga Kamala yang sudah terlahir menjadi muslim namun masih belum taat pada Tuhannya. Kamala memang seorang muslim yang tidak pernah melakukan hal-hal di luar norma budaya timur. Ia tidak meminum alkohol, dugem dan gonta-ganti pacar. Kamala adalah gambaran masyarakat yang beragama Islam di KTP dan anak baik yang tidak terjerumus pergaulan bebas, tapi lalai mengerjakan sholat.
Anehnya, Nicho berpendapat bahwa Kamala sama saja seperti wanita Eropa lainnya yang memilih hidup bebas. Kamala memang tidak menutup diri, namun apakah ia bisa disamakan dengan wanita Eropa? Ia masih menjungjung tinggi budaya timur dengan tidak melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri. Nicho menjadi sosok yang terlalu dangkal menyimpulkan seseorang. Hanya karena ia mengenal Khadija seorang muslimah yang taat. Lambat laun, Kamala juga mulai berhijab dan kembali menjalankan ibadah sholat setelah kehilangan Ibunya. Ia juga tetap mengejar cinta Nicho meskipun adanya perbedaan agama.
Spiritual journey Nicho jauh lebih terarah meski klise. Ia mencintai seorang muslim sehingga memutuskan masuk Islam. Namun Khadija tidak mau jika itu yang menjadi alasan Nicho memeluk agamanya. Nicho akhirnya menggali lebih dalam tentang Islam dan dibantu oleh Joko.
Sayang sekali karena perjalanan spiritual Khadija yang menjadi inti cerita begitu nanggung dan tidak memberi kesan kepada penonton. Penggambaran masa lalu dan keyakinan saat ia memutuskan mememluk agama Islam hanya digambarkan sekilas. Seolah-olah film ini memang tidak ingin menjadikannya sebagai tema utama.
Padahal film ini akan mengundang banyak simpati dari penonton jika ditekan pada adegan-adegan seperti saat Khadija yakin bahwa Islam adalah agama yang menyelamatkan hidupnya dan saat kisahnya banyak menginspirasi orang-orang Eropa. Khadija akhirnya mengiyakan tawaran Nicho agar kisahnya dimuat di media. Namun yang dimuat hanya cerita mengenai masa lalu Khadija lalu ia tolong oleh seorang muslim dan seorang muslim itulah yang membimbing dia. Lalu apa yang berkesan bagi orang-orang Eropa setelah mengetahui kisah Khadija? Terlalu nanggung dan dangkal penggambaran adegannya.
Film ini terkesan hanya menggaris bawahi bahwa perempuan yang menutup tubuhnya jauh lebih baik dibandingkan dengan perempuan yang terbuka. Terutama pada saat Fatimah memberi perumpamaan tentang permen yang dibungkus dengan permen yang tidak dibungkus. Mungkin memang itu adalah perumpamaan yang paling sederhana agar mudah dipahami. Tapi perumpamaan itu rasanya terlalu hambar.
Seharusnya film ini mampu menyuguhkan tontotan yang kualitasnya lebih mumpuni. Perfilm-man Indonesia dengan tema religi sepertinya sudah jenuh dengan cerita beda agama yang dibumbui cinta segitiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H