Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Saatnya Rekonstruksi Pola Didik Anak di Era Digital

11 Maret 2023   15:08 Diperbarui: 12 Maret 2023   00:16 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua mendampingi anak sekolah dari rumah (Ketut Subiyanto via kompas.com)

Berbagai bentuk kriminalitas tak ada hentinya menjadi headline surat kabar. Media tidak akan pernah kekurangan berita, karena kasus kejahatan tidak ada habisnya. 

Adanya penangkapan bahkan mendekam di balik jeruji besi tidak membuat seseorang merasa takut melakukan kejahatan. Nyatanya seorang alumni seragam oranye bisa merindukan kejahatan dan kembali mondok di penjara.

Keresahan dan keprihatinan tentang kriminalitas di Indonesia kini semakin meningkat. Tahun ini, kita selalu dikejutkan setiap hari dengan berbagai kasus kejahatan yang bahkan pelakunya adalah seorang anak. Bukan hanya orang dewasa, tetapi anak dan remaja yang masih dalam misi pencarian jati diri, turut menambah persentase kriminalitas di Indonesia.

Kasus paling ramai saat ini menyeret remaja bernama AGH. Kini polisi sudah menetapkan AGH sebagai anak yang berkonflik dengan hukum (2/3/2023). 

Berdasarkan data infografis yang dipublikasikan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), terdapat 13.701 kasus Anak Berhadapan Hukum (ABH) sejak tahun 2011-2020. KPAI mencatat untuk periode 2016-2022, ABH sebagai pelaku berjumlah 2.883. 

Bentuk kejahatannya beragam, mulai dari kekerasan fisik (pengeroyokan, penganiayaan, perkelahian, dsb), kekerasan psikis (ancaman, intimidasi, dsb), kekerasan seksual (pemerkosaan/pencabulan), sodomi/pedofilia, pembunuhan, pencurian, kecelakaan lalu lintas, kepemilikan senjata tajam, penculikan, aborsi, dan bahkan terorisme.

Mengutip kata-kata yang terdapat dalam film Ngeri-Ngeri Sedap, "Kalau anak berkembang, orang tua juga harus ikut berkembang." Pernyataan itu menyentil orang tua dan pendidik di sekolah. 

Jangan samakan kebiasaan sang anak zaman sekarang akan sama dengan zaman dulu yang dirasakan orang tua saat kecil. Karena jelas tantangan yang dihadapi saat ini berbeda. Di mana kini era digital hadir di tengah-tengah tumbuh kembang anak.

Balita pun sedari merangkak sudah dikenalkan dengan ponsel pintar. Berbagai channel YouTube untuk anak berhasil menarik perhatian balita. Tumbuh kembang anak didampingi oleh digital, maka perilaku yang terbentuk pun tak hanya meniru apa yang diajarkan di lingkungan keluarga. Namun anak akan meniru apa yang ia tonton dari layar ponsel.

Sumber: kompas.com
Sumber: kompas.com

Beranjak menempuh pendidikan di sekolah dasar, orang tua yang seharusnya ikut andil dalam memberi peranan dalam membimbing sang anak mengerjakan pekerjaan rumah, realitanya dibiarkan dengan embel-embel, "cari aja di Google." Google memang bisa menjawab PR anak-anak, tetapi internet tidak bisa membatasi untuk siapa tayangan ditampilkan.

Saat anak berselancar dalam internet, orang tua perlu mengawasi dan memberi arahan. Iklan-iklan yang muncul di berbagai website, mayoritasnya tidak bersahabat dengan anak. 

Anak yang cenderung memiliki sifat spontan dengan rasa ingin tahu yang tinggi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru usai melihat sesuatu yang tidak dipahami dalam internet. Karakteristik anak yang masih memiliki imajinasi yang tinggi membuat si anak berani untuk coba-coba.

Permasalahan tersebut sudah pernah terjadi pada kasus 2 remaja yang membunuh anak berumur 11 tahun yang terjadi di Makasar bulan Januari lalu. Pembunuhan tersebut dilatarbelakangi usai pelaku menemukan website jual beli organ manusia di internet dengan imbalan uang yang besar. 

Para pelaku nekad menculik dan mengeksekusi korban yang padahal mereka kenal. Usai dieksekusi, pelaku mencoba menghubungi iklan jual beli organ tersebut. Namun tak kunjung ada respons atau dikatakan polisi bahwa alamat yang mereka hubungi hanyalah fiktif belaka.

Tanpa berpikir panjang mengenai bagaimana cara membedah organ manusia ataupun memastikan kebenaran informasi website tersebut, pelaku langsung mengeksekusi anak yang tidak salah apa-apa. 

Hal tersebut sesuai dengan penuturan Kemenkes bahwa sifat khas remaja adalah mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan, serta cenderung berani menanggung risiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang.

Remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri merasa ingin selalu dianggap ada. Tak jarang mereka berupaya untuk eksis agar mendapat perhatian dari lingkungannya. 

Remaja sangat ingin menunjukkan eksistensinya sampai-sampai berani berperilaku negatif. Baru-baru ini, kekerasan fisik menimpa siswa SD berumur 12 tahun sampai meninggal dunia. Naasnya, pelaku adalah 3 siswa yang masih duduk di bangku SMP. Kekerasan fisik tersebut terjadi di Kabupaten Sukabumi pada tanggal 04 Maret 2023.

Aksi pembunuhan ini berawal ketika para pelaku konvoi bersama teman-temannya yang lain. Konvoi tersebut bertujuan hanya untuk mencari musuh. Mungkin remaja berdalih melakukan kejahatan seperti itu adalah agar terlihat keren di depan teman-temannya. Menjadi disegani oleh lingkungan dan mendapat pengakuan. Tapi lagi-lagi mereka hanya memikirkan kepuasan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan keselamatan orang lain.

Media sosial turut menjadi wadah remaja menunjukkan eksistensinya. Kini ramai anak pejabat yang pamer outfit puluhan juta dengan menunjukkan kekayaan yang mereka punya. 

Remaja turut meramaikan trend yang sedang ramai dengan ikut tari-tarian di TikTok atau konten-konten lainnya. Remaja cenderung kuno atau ketinggalan zaman jika tidak mengetahui kabar terbaru dari media sosial. Jemarinya begitu gatal untuk menyentuh ponselnya.

Eksistensi seorang anak remaja memang penting dalam pergaulan pertemanan. Menjadi eksis di dalam sebuah lingkungan memang menyenangkan. Remaja akan memiliki banyak teman. 

Dikenal oleh lingkungannya, bahkan mungkin dianggap salah satu orang terkenal dalam lingkungannya. Sayangnya, kadang mereka terlalu berlebihan dalam menunjukkan eksistensinya. 

Tanpa sadar, 24 jam dalam sehari dihabiskan hanya untuk berselancar dalam media sosial. Dari bangun tidur sampai menjelang tidur kembali. Waktu yang dihabiskan untuk scroll media sosial lebih banyak dibandingkan untuk belajar, bermain dengan teman, aktif di kegiatan ekstrakulikuler, ataupun quality time bersama keluarga.

"Jadi orang tua itu enggak ada tamatnya, harus belajar terus." Kutipan tersebut harus diterapkan oleh orang tua sekaligus pengajar di sekolah. Gempuran digitalisasi yang kini menjadi tantangan baru dalam membentuk karakter anak. 

Pola didk anak zaman sekarang tidak akan sama lagi dengan dulu. Jika masih menganut pola asuh lama, makan sudah tidak sejalan dengan kondisi dan tantangan yang ada. 

Anak-anak memang dihadapkan pada lingkaran yang menuntut dirinya untuk harus menunjukkan eksistensi. Banyak dari mereka yang merasa gagal mendapatkan perhatian dari lingkungan, membuat mereka melakukan penyimpangan-penyimpangan. 

Sebelum itu terjadi, orang tua sebagai pendidik dan pengajar di rumah harus mengawasi. Tak hanya sekadar mengawasi, orang tua harus mampu menjadi teman bercerita bagi sang anak.

Saat sang anak merasa gagal dalam menunjukkan eksistensi di luar, maka orang tua harus mampu mendorong dan mengarahkan sampai sang anak bisa mengekspresikan dirinya sesuai dengan bidang yang diminati. 

Sudah saatnya kini guru turut mengikutsertakan media sosial dalam tugas atau PR siswa. Dengan begitu, guru bisa membimbing siswa untuk membuat konten-konten positif yang bermanfaat. 

Pertemanan guru dan anak didiknya di media sosial juga menjadi salah satu cara sederhana untuk memberi pengawasan pada aktivitas anak di media sosial. (Siska Fajarrany)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun