Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Saatnya Rekonstruksi Pola Didik Anak di Era Digital

11 Maret 2023   15:08 Diperbarui: 12 Maret 2023   00:16 1304
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orangtua mendampingi anak sekolah dari rumah (Ketut Subiyanto via kompas.com)

Beranjak menempuh pendidikan di sekolah dasar, orang tua yang seharusnya ikut andil dalam memberi peranan dalam membimbing sang anak mengerjakan pekerjaan rumah, realitanya dibiarkan dengan embel-embel, "cari aja di Google." Google memang bisa menjawab PR anak-anak, tetapi internet tidak bisa membatasi untuk siapa tayangan ditampilkan.

Saat anak berselancar dalam internet, orang tua perlu mengawasi dan memberi arahan. Iklan-iklan yang muncul di berbagai website, mayoritasnya tidak bersahabat dengan anak. 

Anak yang cenderung memiliki sifat spontan dengan rasa ingin tahu yang tinggi menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru usai melihat sesuatu yang tidak dipahami dalam internet. Karakteristik anak yang masih memiliki imajinasi yang tinggi membuat si anak berani untuk coba-coba.

Permasalahan tersebut sudah pernah terjadi pada kasus 2 remaja yang membunuh anak berumur 11 tahun yang terjadi di Makasar bulan Januari lalu. Pembunuhan tersebut dilatarbelakangi usai pelaku menemukan website jual beli organ manusia di internet dengan imbalan uang yang besar. 

Para pelaku nekad menculik dan mengeksekusi korban yang padahal mereka kenal. Usai dieksekusi, pelaku mencoba menghubungi iklan jual beli organ tersebut. Namun tak kunjung ada respons atau dikatakan polisi bahwa alamat yang mereka hubungi hanyalah fiktif belaka.

Tanpa berpikir panjang mengenai bagaimana cara membedah organ manusia ataupun memastikan kebenaran informasi website tersebut, pelaku langsung mengeksekusi anak yang tidak salah apa-apa. 

Hal tersebut sesuai dengan penuturan Kemenkes bahwa sifat khas remaja adalah mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai petualangan dan tantangan, serta cenderung berani menanggung risiko atas perbuatannya tanpa didahului oleh pertimbangan yang matang.

Remaja yang masih dalam proses pencarian jati diri merasa ingin selalu dianggap ada. Tak jarang mereka berupaya untuk eksis agar mendapat perhatian dari lingkungannya. 

Remaja sangat ingin menunjukkan eksistensinya sampai-sampai berani berperilaku negatif. Baru-baru ini, kekerasan fisik menimpa siswa SD berumur 12 tahun sampai meninggal dunia. Naasnya, pelaku adalah 3 siswa yang masih duduk di bangku SMP. Kekerasan fisik tersebut terjadi di Kabupaten Sukabumi pada tanggal 04 Maret 2023.

Aksi pembunuhan ini berawal ketika para pelaku konvoi bersama teman-temannya yang lain. Konvoi tersebut bertujuan hanya untuk mencari musuh. Mungkin remaja berdalih melakukan kejahatan seperti itu adalah agar terlihat keren di depan teman-temannya. Menjadi disegani oleh lingkungan dan mendapat pengakuan. Tapi lagi-lagi mereka hanya memikirkan kepuasan untuk dirinya sendiri tanpa mempedulikan keselamatan orang lain.

Media sosial turut menjadi wadah remaja menunjukkan eksistensinya. Kini ramai anak pejabat yang pamer outfit puluhan juta dengan menunjukkan kekayaan yang mereka punya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun