Mohon tunggu...
Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Mohon Tunggu... Penulis - Lecturer, Writer

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nak, Hidup Ini seperti Bermain Bola!

25 Februari 2023   22:25 Diperbarui: 25 Februari 2023   22:31 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak sampai disitu saja, Ibu tak kalah antusiasnya menceritakan tentang sepak bola. "Tidak hanya itu. Dari sepak bola kita dapat melihat bahwa hidup akan menggiring kita ke kanan, ke kiri, ke depan bahkan kembali ke belakang. Bola itu bundar. Itulah kehidupan. Kita tidak bisa memprediksi bagaimana bola itu akan menggelinding di lapangan. Kita tidak akan pernah tahu kemana arahnya dan siapa yang akan menendangnya," tambah Ibu.

Belum sempat memberi respons, Ibu dan Ayah beradu untuk mendapatkan argumen terbaik di mata aku sebagai anaknya. Atau mungkin saja mereka sengaja berbicara bergantian agar aku tak mengeluarkan pertanyaan-pertanyaan tambahan yang mungkin saja membuat mereka kesal.

Ayah memegang kedua pundakku. Menatap mataku penuh dalam. Penuh arti. "Tapi hidup tidak akan mudah sayang. Ada wasit yang mengawasi kita. Jika kita bersalah, kita akan mendapat teguran bahkan sanksi. Pelanggaran yang kita buat di lapangan menandakan bahwa dalam kehidupan ini kita masih saja melakukan kesalahan. Meski kamu berhasil membobol gawang lawan, meski peluit wasit sudah ditiup, bukan berarti permainan berakhir. Akan ada permainan-permainan lainnya."

Aku menghela nafas. Mendengarnya saja membuat kepalaku migrain. Sepertinya aku memutuskan untuk menjadi anak kecil saja. Sudah cukup merasa puas melihat teman-temanku bermain bola di bawah rintiknya hujan. Teori orang dewasa membuatku mual mendengarnya.

Tapi ada satu pertanyaan yang terlintas dalam benakku. Mengapa dalam hidup ini akan terus menghadapi pertandingan? Bukankah kita dapat memutuskan untuk tidak perlu capek-capek mengikuti pertandingan? Jika kemenangan memang tujuan hidup, lantas untuk apa ada pertandingan lagi usai memboyong piala? Jika terus seperti itu, maka kapan ada waktu rehatnya?

"Ayah?"

"Iya Nak?"

"Capek dong Yah kalau kita harus main bola terus. Kapan istirahatnya? Kata kakak kalau kita terlalu capek nanti bakal jadi stress," imbuhku.

Ayah tertawa kceil. Begitu juga Ibu.

Tak mau didahului Ayah, Ibu langsung memelukku dari belakang dan berkata, "Maka dari itu kita menonton bola sayang. Kamu akan menumpahkan segalanya saat menonton bola. Rasa capek, takut, kesal, marah, sedih, kecewa semua bersatu saat kita menonton bola."

Aku semakin tidak mengerti. Hanya termangu mendengarnya. Lalu kembali meminta Ibu menyuapiku. Lalu berfikir apakah Ayah dan Ibu menginginkan aku menjadi pemain sepak bola wanita pertama di Indonesia. Aku tidak mau, cita-citaku menjadi astronot!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun