Mohon tunggu...
Politik Pilihan

Dinamika Politik, Melawan Bangsa Sendiri

23 April 2019   11:17 Diperbarui: 23 April 2019   11:22 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Tapi perjuangan kalian akan lebih berat, karena melawan saudara sendiri," itulah yang pernah dikatakan Ir. Soekarno, presiden pertama Republik Indonesia.  

Dulu kita mungkin tidak akan membayangkan kemungkinan perkataan tersebut. Mana mungkin ada yang lebih sulit dari berjuang melawan penjajah? Namun jika kita kembali menelaah apa yang terjadi sekarang ini, kata-kata Soekarno kemungkinan besar memang benar adanya. Mungkin juga beliau sudah melihat tanda-tanda bagaimana kita kini memiliki tabiat yang tidak biasa. 

Perjuangan seperti inilah yang sulit, karena kita tidak tahu siapa lawan dan siapa kawan. Nyatanya, sudah ada berapa banyak penjabat yang tersangkut kasus korupsi? Di awal kampanye, kita melihat sisi positif dan niat tulus mereka untuk memajukan lingkungan. Namun, siapa yang mengira bahwa mereka kemudian bisa memanfaatkan jabatan untuk kepetingan pribadi?

Itu masalah di tingkat pemerintahan, lalu bagaimana dengan tingkat masyarakat yang lain. Perjuangan yang dilakukan bukanlah untuk melawan masyarakat atau penduduk Indonesia. 

Namun untuk merangkul dan mengajak setiap pihak bekerja sama membangun negeri ini. Meski begitu, perjuangan ini juga tidak sesederhana kelihatannya. Dulu di masa penjajahan, seluruh rakyat bersatu karena mereka memiliki musuh yang sama, yaitu para penjajah. 

Sekarang, kita harus berjuang melawan saudara sendiri untuk memajukan negara kita. Selain banyaknya penjabat yg tersandung kasus korupsi . kita berhadapan dengan pengumbar kebencian,Hoax,dan profokasi melewati media social maupun secara real dikatakan . Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia menemukan banyak berita hoax yang tersebar di media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dari awal masa kampanye sampai sekarang. 

Penyebarannya semakin cepat dan masif dengan mengggunakan teknologi informasi, penyebaran berita hoax di pemilu merupakan suatu fenomena yang timbul ditengah masyarakat, ini berpotensi menciptakan disintegrasi dan memecah belah Bangsa Indonesia. 

Jika ujaran kebencian ini terus dibiarkan berkembang dalam melakukan perdebatan politik, tentunya akan menimbulkan perpecahan dan keberagaman di masyarakat. Fenomena ini, memang menggelembung pada Pilpres kali ini. 

Ditandai dengan kasus hoaks Ratna Sarumpaet -- yang dikabarkan dipukuli sekelompok orang tak dikenal di Bandung padahal bengep karena operasi plastik di Jakarta -- sampai kabar viral bahwa di Tanjungpriok masuk tujuh kontainer berisi 10 juta surat suara datang dari China yang sudah dicoblos di sisi salah satu paslon.

Belum lagi dengan entengnya masing-masing pihak menyebut pendukung lain sebagai goblok, dungu, pembohong, kapir. Atau tidak mengapresiasi apa yang dilakukan pihak Capres satu yang telah membangun infrastruktur, di antaranya menyambungkan proyek jalan Tol Trans Jawa --- dengan komentar suara emak-emak, "Kami Tidak Makan Infrastruktur", "Buat Apa Membangun Tol tak Berguna dengan Utang" dan sebagainyaLengkap sudah, suasana kampanye Pilpres diwarnai dengan ujaran kebencian.  Para pendahulu kita, para patriot Indonesia di masa lalu sudah memberi contoh akan gelaran Pemilu Demokratis yang tercatat "paling demokratis dalam sejarah bangsa Indonesia" yakni Pemilihan Umum 1955 untuk memilih anggota legislatif pertama sejak Indonesia Merdeka 17 Agustus 1945. 

Sejak pemilu pertama, Para pendahulu bangsa kita sudah memberi contoh demokratis dan aman pada 64 tahun silam, mosok di era Indonesia Modern kali ini kita mau melangsungkan Pilpres dalam suasana perang? Zero Sum Game? Yang menang berjaya atas yang lain, dan yang kalah kudu hancur? Padahal, Capres Prabowo misalnya, sudah mencontohkan dalam debat kedua kemaren, bahwa dirinya mengakui yang baik, dan menerima yang sudah baik untuk diteruskan -- meskipun ia katakan, ia akan memilih strategi berbeda jika terpilih jadi Presiden. 

Atau ujara Capres petahana, Joko Widodo berkali-kali dalam kampanye -- tak hanya selama Pilpres 2019, akan tetapi juga lima tahun silam di Pilpres 2014, bahwa "Pemilu dan Pilpres adalah sebuah pesta rakyat, yang digelar damai tanpa rasa ketakutan," atau saling benci tentunya. 

Mengapa harus dibangkit-bangkitkan semangat perang, dan meruntuhkan satu pihak dengan yang lain?  Zaman sudah sedemikian maju, setelah 74 tahun merdeka. 

Serba terbuka, nyaris tanpa tedeng aling-aling informasi mengalir tersebar dengan cepat, serta merta dan meluas. Mengapa mesti ditarik kembali ke masa jahiliyah? Pilihan memang tidak bisa dua untuk menduduki posisi Presiden. 

Tetapi setelah Pilpres yang kalah tentunya terus membawa rakyat yang mendukungnya untuk ikut membangun negeri. Bukan menghancurkan negeri dengan perang kebencian, perang narasi hoax, perang kepentingan yang tidak toleran.

Sebagai masyarakat kita harus cerdas membedakan mana berita asli dan mana berita hoax, perhatikan dari mana berita berasal dan siapa sumbernya, apakah dari institusi resmi, seperti KPK/POLRI. Sebaiknya jangan cepat percaya apabila informasi berasal dari penggiat ormas, tokoh politik, dan cek keaslian foto, cara mengecek keaslian foto bisa memanfaatkan mesin pencari google, yakni dengan melakukan drag and drop ke kolom pencarian google images, hasil pencarian akan menyajikan gambar-gambar serupa yang terdapat diinternet sehingga bisa dibandingkan. 

Jika kita bisa melawan berita hoax tersebut, maka pemilu akan berlangsung dengan damai. Pemilu damai merupakan keinginan semua pihak, pemilu sebagai instrumen demokrasi dan upaya membangun perubahan kondisi bangsa yang lebih baik menjadi penting maknanya bagi bangsa indonesia yang masih berada dalam kondisi memprihatinkan kini. 

Kandidat pemilu dalam menepati janji-janji politiknya untuk melaksanakan kampanye secara damai, tertib, aman, dan lancar, berkompetensi secara sehat dan meminimalisir intervensi dan politik kotor yang bisa merusak suasana. 

Untuk mencapai pemilu yang sukses memang tidak mudah, harus lebih proaktif dalam banyak hal khususnya berkaitan dalam setiap agenda pemilu, dan pemilu yang bermartabat, pemilu yang demikian itu, dalam konteks indonesia merupakan demokrasi yang harus memperkuat NKRI, harus mensejahterakan, berkhidmat dalam arti takut akan Tuhan dan menjunjung tinggi nilai kemanusian menurut hukum. Oleh karena itu, untuk menuju pemilu dan demokrasi bermartabat, yaitu pertama, harus memahami pentingnya pemilu. 

Hal ini penting terus disosialisasikan pihak terkait seperti KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu baik melalui tatap muka seperti diskusi, seminar dan lain sebagainya ataupun melalui media cetak, medsos atau media lain yang memungkinkan dapat menyampaikan arti penting pemilu, yang terjadi jangan justru pihak calon yang sering bersosialisasi dengan memasang baliho, gambar, dan poster dijalan. 

Kedua, mengenali kandidat secara baik, hindari provokasi atau adu domba antar pemilih apalagi menyebar hoax, dan datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagai bentuk partisipasi dan tanggung jawab bersama. Karena pemilu adalah agenda bersama, dimana kedaulatan berada ditangan rakyat, maka menjadi wajib hukumnya secara perorangan untuk dapat menyalurkan suara dengan mendatangi Tempat Pemungutan Suara (TPS)

Sudah saatnya kita Rakyat Indonesia melakukan perubahan dalam cara berdemokrasi yang baik. Indonesia harus dan wajib melaksanakan Pemilu damai, saya dan kamu hanya bisa berusaha, semaksimal mungkin meskipun lewat tulisan. Percayalah, Indonesia selalu baik-baik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun