"Kalau Ibu pas memandang wajah Bapakmu, dia menunduk. Pas Bapak yang gantian memandang wajah Ibu, eh, Ibu nunduk juga. Gak kuat, Nduk." Tawa kami kembali pecah.
Diam-diam, adik-adik ibu mengintip dari balik tirai sembari senyum-senyum saat memergoki adegan itu.
***
Bulan demi bulan berlalu, tanpa saling menyatakan suka atau cinta, hati Ibu terpaut pada pemuda Jawa yang halus tutur katanya itu.
"Bapakmu itu romantis, Nduk. Suka berkesenian dan tampil di acara-acara Kawedanan atau pesta rakyat yang digelar oleh pabrik tempat bapak kerja."
Ibu juga bercerita, terkadang pemuda romantis itu menghibur Nyai dan Atuk dengan petikan gitar yang dibawanya ke rumah panggung. Melantunkan tembang Jawa atau Melayu, sesekali lagu barat yang sedang populer di zaman mereka muda.
Tibalah saat pemuda Jawa dengan niat baik dan tulus menghadap Nyai dan Atuk, mengutarakan maksud untuk melamar Ibu.
Nyai dan Atuk meminta waktu sebelum mengiyakan untuk menerima pinangan atas anak gadis mereka.
"Rupanya, tanpa sepengetahuan Ibu, Nyai telah menerima pinangan pemuda asal para pelaut dari tanah seberang yang merantau juga di kota Ibu. Bahkan telah menerima sekotak perhiasan emas."
Aku terbangun dari rebahan di pangkuan Ibu, memandang wajahnya dengan mulut ternganga. "Lho, terus piye, Bu?"
Nyai dan Atuk sempat bersitegang beberapa hari. Atuk sangat tidak setuju dengan sikal Nyai yang menerima begitu saja pinangan pemuda asal para pelaut tanpa bertanya pada Atuk mapun Ibu. Nyai tergiur dengan pemberian dari pemuda itu.