Cuaca yang cerah di Ahad, 3 November 2024, mengantarkan saya dan sahabat (yang merupakan tetangga terdekat) menuju ke sebuah tempat guna mengikuti kelas healing.Â
Ya, sejak sekira sepekan sebelum hari acara tiba, kami berdua berminat dan mendaftarkan diri menjadi peserta kelas ini. Saya yang penasaran setelah melihat beberapa tayangan video dan foto-foto yang dibagikan oleh mentor tentang kelas healing, ingin tahu apa dan bagaimana terapi yang diajarkan untuk melepas segala rasa yang kurang nyaman di hati para wanita.Â
Kelas ini ditujukan khusus pada wanita muslimah, baik yang sudah menikah maupun yang masih lajang.
Bukan suatu kebetulan bahwa satu dari tiga mentor yang menjadi pembimbing kelas ini adalah seorang motivator muda, yang pernah menjadi wali kelas anak saya semasa sekolah menengah pertama dan menjadi pemateri jika perumahan kami mengadakan majelis taklim.
Karena sudah mengenal beliau, maka saya memutuskan hadir mengikuti Self Healing Class (SHC), sebuah kelas mini yang berlangsung setengah hari saja, menggunakan metode Spiritual Emotional Freedom Technique (SEFT).
Peserta yang hadir kurang lebih 25 orang. Rerata adalah ibu rumah tangga dengan berbagai profesi atau kegiatan lainnya, sebagaimana yang saya baca dari daftar hadir di meja penerima tamu.
***
Apa yang terbersit di benak Anda ketika membaca atau mendengar kata healing?
Saya sendiri menjawab dalam hati, healing adalah proses penyembuhan. Sembuh dari apa saja, baik luka fisik maupun batin.Â
Menurut Bunda Surayya Hayatussofiyah, M.Psi - Psikolog yang menjadi salah satu pemateri di kelas SHC ini, menuturkan bahwa healing berbeda dengan travelling, shopping ataupun refreshing. Karena meskipun kita sudah jalan-jalan ke luar kota, sudah asyik belanja di mall atau via online shop, menyegarkan diri di salon, menikmati waktu bersama keluarga, kawan, sahabat, belum tentu juga ada rasa bahagia yang sesungguhnya kita dapatkan.
Mengapa rasa bahagia itu belum sempurna ada dalam jiwa?
Setiap orang memiliki rasa sedih, kecewa, marah, gundah, sakit hati, cemas dan perasaan negatif lainnya dengan tingkatan yang berbeda sesuai pengalaman kehidupan masing-masing.
Perasaan sedih saya, misalnya, tidaklah sama dengan tingkat kesedihan yang Anda rasakan.
Jangan menyontek perasaan sedih atau masalah orang lain, karena manusia punya masalah masing-masing, sehingga kita perlu melepas masalah tersebut dari diri sendiri.
Kelas yang diselenggarakan ini adalah untuk membantu mengurangi penderitaan yang dirasakan para peserta dan setelah keluar dari kelas SHC bisa menjadi pribadi yang bahagia. Benar-benar bisa tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang berbahagia.
Menjadi seorang Ibu, tidaklah mudah dalam mengelola perasaan yang ditanggungnya. Emosinya bisa naik turun, berbagai keadaan musti dihadapi. Baik itu urusan keluarga kecilnya, urusan keluarga besar, komunikasi dengan suami dan anak, urusan rumah tangga, dan kegiatan pribadi di lingkungan sosial.
Tidak mudah menjadi ibu yang kuat, tangguh, dan hebat. Di sinilah pengorbanan seorang Ibu yang persiapannya jauh sebelum menikah untuk menyiapkan diri sebagai seorang istri, lalu menjadi seorang ibu setelah melahirkan, merawat dan mendidik anak, hingga berlangsungnya proses kehidupan yang dijalani berikutnya.
Jujur saja, adakah rasa marah, kecewa, gusar, gelisah, cemas, sedih atas perjalanan hidup yang tidak sesuai dengan harapan?
Membayangkan suami yang selalu romantis, atau memberikan naflah lahir dan batin sesuai permintaan, eh, ternyata sayangnya hanya saat masa perkenalan dan kurang cukup dalam memberikan nafkah setelah menikah.
Membayangkan anak-anak menuruti perintah dan larangan orang tua sebagaimana kita berusaha mendidiknya, eh, ternyata masih saja membangkang.
Membayangkan mendapatkan dukungan dari orang tua dan mertua dalam mengembangkan kemampuan diri, eh, ternyata tidak diperkenankan ke luar rumah untuk urusan tersebut. Cukup di rumah saja, urus anak dan suami, itu juga ibadah kok. Nggak perlu harus ikut kursus ini itu!Â
Saat kita berusaha menjalani kehidupan rumah tangga sebaik mungkin, ternyata ada juga terselip ketidaksetiaan suami, anak mendapatkan masalah di sekolah atau lingkungan pertemanan, akhirnya masalah menjadi menumpuk dalam benak, sehingga berlanjut menjadi stres, dan membuat bunda menjadi tidak bahagia.
Ada yang mengalami demikian?
Kenapa kita musti bahagia menjadi ibu?
Ibu berhak bahagia menjadi ibu, karena peran ibu dalam keluarga sangatlah besar. Seorang bunda adalah madrasah awal atau pendidik pertama dan utama bagi anak-anaknya. Bunda-lah pembentuk pondasi kekuatan iman, jiwa dan mental anak.
Dalam proses menjadi bunda, kita perlu menyadari, menerima, memahami keadaan dan situasi yang menyenangkan dan yang kurang nyaman.
Namun berhentilah menyalahkan diri sendiri apabila timbul masalah-masalah dalam proses tersebut, karena Allaah Swt. tidak meletakkan beban di pundak yang salah. Tuhan memberikan kepayahan kepada tiap insan tidaklah melebihi dari kemampuannya untuk mengatasi problema.
Ketika bunda sedang lemah, tidak perlu malu mengakui dihadapan Allaah. Karena memang manusia bersifat lemah dan bergantung pertolongan kepada-Nya. Kuncinya, bertahan dan bersandar kepada Sang Maha Kuat.
Anak tidak butuh bunda yang sempurna, tapi membutuhkan Ibu yang bahagia.
Maka ketika ada 'penyakit hati', ada luka batin yang belum sembuh, kita sebagai bunda sebaiknya siap melalukan penyembuhan dengan cara yang tepat untuk melepaskan beban jiwa agar tidak makin menumpuk.
Kita lepas satu per satu agar beban masalah tidak 'meledak' di kemudian hari. Luka yang tersimpan di hati bisa menjadi 'infeksi' bagi jiwa.
Beberapa teknik praktis yang bisa kita lalukan adalah menjadikan pikiran kita dipenuhi hal-hal.positif, mencurahkan isi hati dengan bercerita kepada orang yang tepat dan dipercaya, melakukan relaksasi pernafasan, memeluk diri sendiri (butterfly hug) dan berolahraga untuk mendorong hormon bahagia.
Menurut Ustadzah Hajar Aswad S.Pd, seorang motivator muda yang menjadi salah satu mentor di kelas SHC ini, menyampaikan bahwa sumber -sumber kebahagiaan itu berasal dari mencintai diri sendiri.
Tidak perlu merasa iri dengan membandingkan kebahagiaan orang lain yang terlihat di media sosial, karena mereka tidak menampakkan kesedihan yang dialami.Â
Teruslah berbuat baik. Perlakukan orang lain dengan baik sebagaimana kita ingin diperlukan baik juga. Menjaga diri menjadi orang yang positif, tidak menyakiti orang lain, dan selalu memberi dengan tulus.
***
Ketika pertama kali hadir di acara ini. Duduk dan berbincang sejenak dengan peserta lain dan berkenalan dengan nama-nama mentor di kelas SHC, kami diminta menulis dalam secarik kertas tentang kesedihan atau kekecewaan atau kemarahan apa yang sekarang sedang dirasakan.
Wah, pertanyaan yang sulit untuk saya. Sempat melirik dan tertawa sejenak dengan sahabat yang duduk bersebelahan, kami berdua bingung juga mau menuliskan apa. Sehubungan kami merasa sedang tidak punya masalah, selalu happy, dan baik-baik saja.
Saya pribadi, setelah berpikir sejenak, apa yang menjadi masalah, saya menuliskan secara jujur saja tentang diri pribadi. Bisa jadi, masalah yang saya rasakan justru karena ulah saya sendiri.
Sesi akhir kelas ini adalah melakukan praktik SEFT yang dipandu oleh bunda Eva Susanti, S.Si (Praktisi SEFT). Seluruh peserta duduk santai bersandar di tembok kelas, ruangan diredupkan, diiringi alunan musik yang lembut.
Kami juga dipandu melakukan untuk memulai dengan berdoa, berlanjut menyampaikan keluhan yang dirasakan, beri nilai dari 0 sampai dengan 10 untuk masalah yang membuat kita marah, benci, sakit hati, geram luar biasa dan perasaan negatif lainnya. Ungkapkan dan curahkan sebebas mungkin dalam bisikan.
Lalu dengan gerakan tertentu yang sudah diajarkan sebelumnya oleh beliau tentang SEFT, satu per satu peserta melepas rasa yang menghimpit dada. Ada yang diam-diam menangis, ada yang sesegukan tiada lagi menahan air mata yang tertumpah.
Bunda Eva dan mentor lain membantu meredakan emosi sedih itu dengan memeluk peserta. Mereka mencurahkan kesedihan level tertinggi hingga meredanya hal negatif menjadi positif.
Sesi ini diulang dua kali, agar perasaan negatif yang terpendam sekian lama, bisa berangsur menurun levelnya dari 10 menuju titik 0.
Kata ajaib yang pegang setelah keluar dari kelas ini adalah saya ikhlas, saya ridho, ya Allah
Betapa jiwa saya sungguh ringan memaafkan, betapa hati saya enteng melepas apa yang mengganjal di hati. Tak perlu marah, kecewa, ngomel, toh semua saya jalani dan hadapi sesuai dengan ketentuan-Nya.
Kata-kata ajaib itu menghipnotis diri saya sendiri. Bahkan membuat saya menangis lega. Betapa saya bahagia, tidak dibuat-buat, dan makin bersyukur bahwa Allaah sayang pada setiap manusia dengan cara-Nya.Â
Ya. Dibalik kesulitan, selalu ada kemudahan. Dibalik kesedihan, ada berjuta kebahagiaan. Ada begitu banyak cinta yang patut dikisahkan.
Semoga testimoni saya ini bermanfaat untuk para pembaca.
Salam sehat dan selalu ingat BAHAGIA!
***
Artikel 31 - 2024
#Tulisanke-581
#ArtikelLOVE
#TestimoniSEFTClass
#SpiritualEmotionalFreedomClass
#HealingClass
#NulisdiKompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI