Ugi, nama yang selalu diriku sebut. Telinga pendengar terbaik setiap pagi bersama sebaris senyum sumringahku gegara tingkahnya yang lucu.
Tak dinyana terselip rasa iri. Â Tersisihkan tak tersapa oleh kamu yang ada di sana.
Ah, seandainya dirimu tahu gelak tawa 'kan pecah andai kau ada di sini bersamaku.
Sorot mata Ugi  menatap tajam. Seakan mengejek dengan suka cita gegara mencium aroma tubuhku yang mendulang rindu padamu.
"Ugiiiii, dasar anabul kolokan!" Teriakku sambil mengelus gemas tubuh berbulu yang mengeong tak henti.
"Ugi, maafkan aku yang tak berbaik hati padamu," ujarku sembari menggendongnya dan meletakkan anabul belang telon itu kepangkuanku.
Di setiap gigitan daging ayam yang menempel pada tulang-tulang lunak, aku menghabiskannya dengan menyesap seluruh sari pati tanpa berbagi pada Ugi, yang memandang penuh harap atas bagian putih mengeras itu.
"Ugi, yang doyan tulang nggak cuma kamu!" Senyumku mengembang mengejeknya yang loncat turun, memilih bergelung di antara kedua kakiku.
Ah, pagi ini sesapan sayap ayam hanya menyisakan tulang-tulang kecil yang pasti tak mengenyangkan perutnya.
Dia mendengkur kegirangan dalam elusan lembut dipangkuanku lagi. Apakah Ugi merasakan kerinduanku padamu melalui getaran pori-poriku?
Kuterbawa lamunan akan kecupan mesra di punggung tangan dan sudah berapa purnama kecupan itu tak lagi singgah, entah kemana gerangan. Kamu menghilang hanya menyisakan kesedihan yang menyesakkan dada. Hanya Ugi yang sanggup mengusir keresahan hatiku tentangmu.
***
Hari menjelang malam, mentari pun sudah pulang beranjak ke peraduannya. Namun, Ugi belum juga kembali dan aku hanya termenung dari balik tirai jendela menatap jauh ke luar pagar dengan berjuta harapan.
Sekilas, tiba-tiba melintas sebuah bayangan mengendap-ngendap masuk melalui celah bawah pagar yang berukuran tidak terlalu besar. Aku mengucek mata berulang kali seakan tidak percaya melihat pemandangan bayangan itu.
"Satu, dua, tiga, empat, lima, enam. Waduh!" Mataku membelalak menghitung bayangan yang masuk satu per satu dengan  perasaan senang dan kaget bercampur aduk.
Segera kuseret kaki membuka pintu dan warna jingga semesta memperjelas semua bayangan itu.
"Ugiiiii! Dua bulan menghilang dan pulang membawa pasukan! Kenapa tidak bilang kamu hamil dan melahirkan?" Sorakku kegirangan gembira sambil menghampiri Ugi dan anak-anaknya.
Mereka mengeong manja dalam dekapanku. Hangat. Sehangat kerinduan yang selama ini tertahan menanti Ugi pulang ke rumah.
Ah, tidakkah kau ingin kembali pulang ke bilik hatiku yang masih tertitip cinta?
Segera kututup pintu dan berbisik pada langit jingga yang samar di batas cakrawala, menitip salam sayang untukmu agar bisa kembali pulang pada cinta yang masih selalu tersimpan di jiwa.
Bandung - Samarinda, Sabtu, 26 Oktober 2024, 05.32 Wib/06.32 Wita
***
Fiksi mini kolaborasi karya Rani Iriani Safari (Founder Rumah Pena AlegoriKomunitas alumni kelas puisi ) dan Siska Artati
***
Artikel 29 - 2024
#Tulisanke-579
#Fiksiana
#FiksiMini
#FiksiMiniKolaborasi
#RumahPenaAlegori
#Anabul
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H