Pagi yang cerah hari ini, saya berbagi foto arem-arem dalam satu kotak panganan ke grup whatsapp Kompasianer Penulis Berbalas (KPB). Menu tradisional ini bukan bikinan saya sendiri, melainkan memesan dari tetangga yang mempunyai usaha membuat kudapan atau kue kotakan untuk berbagai acara.
Tetiba ada satu anggota KPB yang bertanya, apakah isian arem-arem harus selalu daging ayam atau bisa dengan variasi lainnya?
Ah, saya selalu terkenang dengan arem-arem buatan almarhumah Ibu yang selalu menyertakan menu nasi berbungkus daun pisang dengan varian isi yang membuat kami jatuh cinta dengan panganan ini
***
Semasa usia kanak dan saat masih tinggal di komplek perumahan pabrik gula di sebuah kota kabulaten di Jawa Tengah, keluarga saya menetap di rumah dinas yang memiliki ukuran ruang dapur yang cukup luas.
Di sanalah Ibu, si Mbok, dan kakak-kakak perempuan saya beraktivitas memasak dengan leluasa karena ruangannya yang cukup luas. Jadi kalau sedang masak besar, mau ndeprok alias duduk di lantai dengan santai, tidak akan jejal menjejal kaki satu dengan yang lain. Penak tho.
Ketika kami akan bepergian ke luar kota, seperti menengok Eyang Putri yang tinggal di ibukota provinsi, atau saat hendak membezuk orang sakit (baik di rumahnya atau di rumah sakit), atau ada kegiatan para remaja di pagi hari di lingkungan pabrik gula, Ibu selalu membuat arem-arem sebagai bekal perjalanan atau sebagai pemgganti menu sarapan.
Sebatas sepengetahuan saya, makanan ini disebut arem-arem, karena memang bikin marem alias puas, berasa kenyang dengan menu nasi yang berbeda tampilan dan rasa, bukan sekedar sarapan nasi biasa yang terhidang di atas piring.
Seperti yang saya kutip dari laman tirto.id bahwa Arem-arem (sebutan di wilayah Jawa Tengah dan sekitarnya), atau lontong isi (sebutan di Jakarta dan sekitarnya), adalah segulung nasi berisi aneka sayur atau lauk yang dibungkus daun pisang. Isinya bisa berbeda-beda.
Seperti namanya di Jawa, arem-arem konon berasal dari kata ‘marem’ atau puas. Merujuk pada sifatnya yang mengenyangkan. Ini salah satu alasan kenapa bentuk arem-arem tak pernah kecil dan langsing.
Meski bentuknya sama dengan lontong isi, lontong isi di Jakarta memiliki lebih banyak variasi isinya. Ada yang berisi sambal goreng atau tumisan sayur seperti di Jawa Tengah, namun banyak juga yang diisi olahan oncom.
***
Kenangan saya melayang setiap kali bepergian ke luar kota, Ibu menyiapkan arem-arem untuk teman perjalanan. Karena kami berangkat usai salat subuh, maka sebagai pengganti sarapan, arem-arem menjadi menu andalan Ibu untuk mengisi perut kami.
Sejak dini hari ibu memasak dengan bantuan cekatan dari si Mbok. Bahan isian dipersiapkan malam hari, sehingga pada dini hari nanti, tinggal menyiapkan sobekan daun pisang sesuai ukuran, menyiapkan nasi, menata nasi dan isian di atas daun, lalu mengukusnya. Saat subuh tiba, arem-arem telah tersaji hangat dan siap dikemas dalam wadah untuk dibawa sebagai bekal.
Arem-arem buatan ibu sangat khas, dengan ukuran yang tidak terlalu besar seperti lontong, dan tidak terlalu kecil seperti lemper. Yah, sedang-sedang aja, dengan ukuran bulat langsing yang pas dalam genggaman tangan.
Sependek ingatan saya, isiannya selalu irisan sayur wortel dan kentang. Sengaja tidak ada isian yang lain. Justru Ibu memasak lauknya secara terpisah. Ada tempe goreng atau mendoan, tahu, telur asin, dan ayam goreng. Jadi saya bisa menikmati arem-arem dengan pilihan lauk yang saya mau sesuai hidangan masakan Ibu.
Kenangan lainnya yang selalu teringat adalah tempat pemberhentian untuk menikmati arem-arem ditengah perjalanan tersebut.
Karena sering menengok Eyang Putri di Ibukota Privinsi, di tengah perjalanan, kami mampir ke Alas Roban, sebuah jalanan berkelok dan curam, yang membelah hutan belantara.
Di era 1980-an, suasana hutan di sisi jalan sangatlah asri dengan pohon-pohon yang tinggi. Ada beberapa titik di kawasan tersebut yang bisa kita gunakan sebagai area istirahat sejenak sebelum melanjutkan perjalanan.
Di pagi yang cerah dengan suasana hutan yang asri, kami menggelar tikar dan menurunkan panganan dan minuman untuk sarapan sejenak. Menikmati arem-arem di tangan kanan, dan menggigit lauk di tangan kiri, sungguh nikmat. Pilihan lauk favorit saya adalah telur asin dan ayam goreng. Angin semilir menemani ritual sarapan, bersama kicau burung yang ada di dahan-dahan pohon.
Bahkan di masa itu, monyet-monyet hutan yang jinak dan lucu mendekat ke arah kami. Mereka hanya mengamati dan mau ikut makan jika kami beri dan ditaruh di atas batang-batang pohon yang tumbang. Mereka tidak mengganggu para pendatang, tapi justru menghibur pemandangan.
Monyet-monyet ini juga mendapat jatah beberapa bungkus arem-arem dari keluarga kami. Ekpresi lucu dan kegirangan mendapatkan jatah makanan, membuat kami pun riang. Ibu juga kadang berbagi dengan supir-supir truk yang sedang beristirahat di sekitar area, apabila bekal arem-arem yang kami bawa cukup banyak.
***
Selang bertahun setelah Bapak dan Eyang meninggal, kami jarang beekunjung ke ibukota provinsi, kecuali ada acara penting seperti kakak pertama kali kost di kota tersebut, menghadiri wisuda, dan lain sebagai ya. Arem-arem tetap menjadi menu andalan. Namun ketika tidak sempat membuatnya, kami membelinya melalui pedagang jajan keliling yang masuk ke dalam bis atau kereta, selalu arem-arem menjadi pilihan. Sederhana dan tetap mengenyangkan.
Ibu sering juga menerima pesanan arem-arem dengan variasi isian seusai keinginan pemesan. Seperti suwiran ayam, serundeng daging, hati ampela ayam, hati sapi, tumis tempe pedas, dan lain-lqin. Namun isian irisan wortel dan kentang tetaplah ada agar tersedia asupan sayur didalamnya.
Arem-arem membuat saya selalu terkenang dengan kasih sayang Ibu, seperti saat ini ketika saya menikmati sarapan dengan menu ini berteman dua gelas teh hangat.
Saya kangen ibu ❤️
***
Artikel 13 - 2024
#Tulisanke-563
#ArtikelFoodieSiskaArtati
#AremArem
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H