Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Romansa di Penghujung Senja

1 November 2023   18:19 Diperbarui: 2 November 2023   07:21 478
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ikustrasi Sumber gambar: https://www.istockphoto.com/id

Hujan deras menguyur kota.  Aliran airnya berkelok mencari jalan keluar menuju muara. Melewati trotoar, jembatan, selokan, parit, apa saja yang bisa dilaluinya.


Aku baru saja menghenyakkan tubuh, duduk di single sofa bersanding meja kayu ulin dengan tekstur menarik. Sedikit mengibas gamisku bagian bawah yang basah dari tempias hujan. Ya, sesaat lalu aku berlari kecil menuju kafe ini, ketika langit baru saja menumpahkan gerimis hingga tetiba menderas.

Menikmati bulir-bulir air yang bergulir vertikal di dinding kaca jendela bagian luar, aku tersenyum simpul dengan rasa syukur di hati. Panas terik sepekan, Tuhan Yang Maha Baik menurunkan hujan melimpah ruah.

Dingin cuaca mulai menerpa wajahku yang berada tidak jauh dari kaca yang dibiarkan sedikit terbuka itu. Hmm, aroma petrikor mulai menguar dari pori-pori tanah dan jalanan. Kuresapi suasananya dengan memejam mata.

Pelayan meletakkan minuman dan kue yang kupesan beberapa menit lalu. Aroma petrikor berganti dengan wanginya teh melati dan cheese croissant yang menggoda indera penciumanku.

Kudekatkan hidung pada cangkir biru, sedap nian! Aku mulai menyesapnya, perlahan, menikmati kehangatan minuman favorit dengan terpaan cahaya awan kelabu.

Aku mengelap kaca yang berembun dengan sehelai tisu. Dan, hei!

Tampak seekor kucing belang tiga, meringkuk di bawah mobil di teras parkiran kafe, mendekap hangat tubuhnya sendiri yang ringkih. Dingin udara di sekelilingnya, pastilah membuat tubuhnya sedikit menggigil. Setidaknya ia terobati dengan berlindung di tempat beralas semen.

Sesekali kilatan cahaya kendaraan yang lalu lalang tersorot padanya. Si kucing bergeming. Ia menikmati aliran air hujan yang suka-suka berjalan dihadapannya. Berharap, makhluk cair itu tidak menganggu ketenangan singgasananya.

Waktu memang sedang bergulir menuju senja dan aku sengaja menanti momen bias lembayung di kafe ini di setiap akhir pekan aktivitas kerja.

Sembari mengunyah kudapan, aku mengamati kucing kecil itu. Matanya seakan bermain memperhatikan aliran air yang mampir di sela-sela lantai semen. Tubuhnya beringsut menghindar, tak ingin ada secuil basah menyergap kakinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun