“Anak Bapak? Yang mana?” Setengah berbisik aku bertanya sembari mengedar pandangan ke penjuru ruangan aula yang penuh dengan peserta lomba.
“Itu,” sahut Kepala Sekolah, kepalanya sedikit turun, menunjuk siswa putra yang sedang duduk membaca materi, tak jauh dari tempat kami berdiri.
“Oh, itu putra Bapak, tho? Saya sering jumpa di lomba-lomba sebelumnya, Pak.” Aku terkejut dengan mimik senang.
“Iya. Namanya Haris, sekolah di SD Negeri 01. Memang dia tidak bersekolah di tempat kita. Semoga tim kamu menang, Nak.” Beliau menepuk bahuku.
“Siap, tropi juara itu akan kami bawa pulang untuk sekolah kita, Pak.” Seruku mantap. Aku mencium aroma kemenangan berpihak padaku dan kawan-kawan.
Sejak saat itulah, aku paham siapa lawanku dalam setiap kegiatan perlombaan. Karena hampir dipastikan, aku selalu bertemu Haris di level final pada ajang kompetisi antarsekolah.
***
Aku tak bisa menolak takdir, begitu sebaliknya dengan Haris yang selalu mewakili sekolah di setiap ajang lomba. Kami tinggal satu desa, namun berbeda pilihan tempat studi, baik menengah pertama maupun menengah atas.
Meski sering bertemu dalam kegiatan tersebut, kami jarang bersapa. Paling hanya melempar senyum, sekedar saling tahu bahwa lagi-lagi berada dalam satu ajang kompetisi.
Hubungan pertemananku dengan Haris makin dekat sejak kami berdua mendapat penghargaan sebagai siswa teladan putra dan putri SMA di tingkat kabupaten. Pada setiap kesempatan latihan dan tambahan pengetahuan bersama tim guru, Haris tak segan-segan mampir ke rumahku dan kami berangkat bersama dengan sepeda motor kesayangannya menuju ke kota.
Kami mulai membuka diri untuk saling ngobrol, berbagi cerita masa kanak dan remaja saat saling tahu kehadiran sebagai peserta lomba, hingga keseruan untuk bisa mengalahkan tim lawan.