Keeskokan hari, prosesi pengantaran jenazah ke kota asal beliau hingga pemakaman, berbalut dengan sedih yang tak kumengerti, karena aku belum paham apa itu arti "pulang" yang sejati.
Kau pun menyaksikan, bagaimana aku setia menunggu pulangnya Bapak untuk kembali memelukku dan mendongeng kisah-kisah lucu atau sarat kebajikan dari amanat cerita. Sangat merindukan hadirnya. Namun pelukan itu sudahlah tiada. Lalu, kujalani episode kehidupan dengan jiwa kasih sayang warisan beliau.
***
Dear Agustus,
Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu, memberikan takdirnya bahwa negeriku menyatakan merdeka dari penjajahan pada bulanmu.Â
Lihatlah, betapa semarak seluruh pelosok negeri. Dari sudut dusun yang sunyi hingga kota metropolitan yang hingar bingar.Â
Tak hanya umbul-umbul terpasang, gelaran pesta rakyat tahunan, lomba yang meriah menyemarakkan, namun terselip doa dan harapan atas kesejahteraan dan kemakmuran untuk seluruh komponen bangsa.
Lohatlah binar generasi muda menyongsong masa depan di negeri ini. Lihatlah senyum para tetua yang telah mewariskan peradaban bagi berlangsungnya lehidupan berbangsa dan bernegara. Memang, di sana-sini masih saja ada tangan-tangan kotor merusak tatanan dengan perbuatan keji. Hanya doa dan daya upaya untuk memperbaiki-lah, semoga negeriku ini jaya lestari.
***
Dear Agustus,
Bersamamu pula aku memantapkan diri, berikrar janji sehidup sehayat sengan sosok pilihan hati. Seorang tampan yang beriman dan takut pada Allah semata. Seorang lembut yang menuntunku pada kebaikan. Kami berdua berusaha mengjadirkan adanya sakinah, mawaddah, warahmah, dalam mahligai rumah tangga yang penuh ujian maupun keberkahan. Semoga kami bisa melalui biduk ini dengan sebaik-baik amanat.