Satu kalimat ajaib yang selalu tersemat di hati saya setiap hal itu terjadi: "Lihat saja nanti, uripmu mbesuk dadi opo! Titeni wae!"
Ya, yang kerap melakukan perundungan itu hanya dua anak saja. Selebihmya, kawan-kawan ada yang membela, ada yang diam saja, atau mau dekat di saat saya menang lomba. Karena di saatb tulah, saya bagai anak viral.yang sedang diperbincangkan guru, kawan dan terdengar ke telinga orang tua di pergaulan komplek rumah.
***
Saya bertahan dengan ketidaksukaan mereka hingga mereka berdua pindah sekolah, mengikuti kepindaham tugas orang tuanya. Saya cukup bernafas lega. Lumayan, orang yang saya anggap musuh, sudah tidak lagi resek menguliti telinga.
Namun ternyata, perundungan tetap terjadi. Komentar miring, ejekan yang terang-terangan dan beberapa perlakuan diskriminasi dari kawan lain yang awalnya teman biasa dan aman-aman saja dalam bergaul.
Saya nggak boleh gabung dengan kelompok ini, nggak boleh ikutan bermain dengan kelompok itu. Dipasangin permen karet di sela kursi. Kalau nempel di rok seragam sekolah, susah banget membersihkannya. Kadang buku tugas sekolah yang sudah dikumpulkan, Â diumpetin hingga saya dapat hukuman dari guru. Buku tetiba muncul di meja guru jika hukuman sudah saya lakukan. Macam-macam lah.
Baiklah, justru hal tersebut memotivasi saya bahwa saya lebih baik melakulan kegiatan positif dan mendulang prestasi.
Ya, masa-masa itu semangat dan ego belajar sangat tinggi. Meski tak selalu rangking satu, minimal saya masuk jajaran lima besar. Selain prestasi akademik, bersyukur pihak sekolah hampir selalu mengikutsertakan saya dalam berbagai lomba. Kalah atau menang bukan tujuan saya, tetapi kepercayaan dari sekolah membuat saya bangga dan terharu.Â
Membawa pulang piala atau sertifikat kejuaraan buat sekolah, sedikit demi sedikit meluruhkan perundungan kepada saya. Hal itu terbawa hingga saya menjalani kehidupan masa remaja di SMP dan SMA. Berusaha memberikan dan melakukan yang terbaik untuk membungkam mulut-mulut usil.
***
Apa yang membuat saya bertahan dengan rasa sakit hati dengan perundungan? Bisa jadi karena kalimat ajaib yang saya ucapkan dalam hati semenjak kanak-kanak itu tadi.