Zaman itu, saya mengerjakannya dengan mesin ketik, belum mengenal dan menggunakan komputer. Saya pakai kertas buram, membiarkan isi kepala yang tertuang dalam skripsi dicoret-coret dosen sebagai bahan koreksi. Jika ketiga pembimbing sudah menyatakan setuju dan sepakat, baru saya ketik rapi menggunakan kertas putih ukuran 80 gram
Bersamaan dengan masa menjalani skripsi hingga Bab 3 yang berisi isi inti penelitian, saya menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN). Teman-teman seangkatan menyiasati dengan konsultasi bimbingan di hari Jumat dan Sabtu di kampus, senin hingga kamis balik ke tempat KKN.
Tidak dengan saya, tetap fokus menjalankan tugas KKN selama tiga bulan. Ndilalah, pernah mencoba konsul bimbingan seperti itu, eh, dosen pembimbing juga keliling luar kota mendampingi mahasiswa KKN di akhir pekan. Jadilah saya melanjutkan konsul setelah KKN benar-benar selesai.
***
Rasa malas mulai menyerang, ketika harga kertas satu rim mulai beranjak naik di tahun 1996. Saya berburu kertas bekas di kantor-kantor sekitar Asrama Putri tempat saya ngekost. Bagian belakang kertas yang sudah tidak terpakai, bisa saya gunakan untuk mengetik naskah skripsi.Â
Baca juga: Delapan Tahun Ngekost di Asrama Putri, Persahabatan Terjalin Hingga Kini
Di tahun 1996, saya mulai menggunakan komputer dengan sistem operasi MS-DOS. Belum mengenal MS Word seperti sekarang ini. Biaya skripsi makin bertambah, yaitu beli disket tipis dan tebal untuk menyimpan file skripsi.
Karena biaya tambahan inilah, saya beranikan diri melamar pekerjaan dengan niatan mendapatkan uang saku tambahan. Akhirnya, saya mendapat pekerjaan pertama sebagai pengalaman, yaitu menjadi Penyiar Radio.
Niat awal kerja, gaji penyiar buat beli kertas dan disket untuk skripsi. Eh, ternyata malah keasyikan kerja dan menikmati kebersamaan dengan para fans radio. Skripsi hampir tak tersentuh. Kalau pun saya ke kampus, itu pun untuk kegiatan yang lain, bukan untuk konsul skripsi.
Tahun 1997, harga kertas makin menjulang. Seingat saya, yang tadinya 1 rim harga delapan ribu-an, bisa jadi dua puluh ribuan lebih. Harga-harga mulai melambung naik. Kiranya krisis moneter melanda. Iklan mulai jarang masuk radio. Hanya satu dua saja. Tempat saya bekerja pun, mulai bayar gaji rapelan.
Akhirnya, dengan semangat yang tersisa dan dukungan kawan-kawan yang sudah lulus, saya mulai menyentuh lagi skripsi yang terlantar.
Hampir tiga bulan penuh saya full-kan stamina untuk ngetik skripsi di rental komputer, dari pagi hingga sore bersama kawan seasrama yang memili tekad yang sama: skripsi harus selesai!