Setiap warga negara di negeri kita tercinta, memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak sejak usia pra-sekolah hingga perguruan tinggi.
Namun tidak semua anak mendapatkan hak tersebut dengan berbagai alasan yang mengemuka di keluarga masing-masing. Sering kita dengar karena alasan ekonomi, jarak sekolah yang cukup jauh, biaya penyerta dalam kegiatan belajar mengajar, dan lain sebagainya.
Kalaupun mereka sempat mengenyam pendidikan dasar, bersyukur bisa menyelesaikan hingga mendapatkan ijazah. Namun ada pula yang akhirnya harus berhenti di tengah jalan alias putus sekolah.
Sebagaimana yang dilansir oleh Institut Pertanian Bogor melalui web Scientific Repository-nya bahwa anak putus sekolah adalah keadaan dimana anak mengalami keterlantaran karena sikap dan perlakuan orang tua yang tidak memberikan perhatian yang layak terhadap proses tumbuh kembang anak tanpa memperhatikan hak–hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Dalam artikel ini, saya ingin berbagi kisah orang-orang yang pernah mengalami putus sekolah di masa usia anak dan remaja, serta bagaimana mereka berusaha bangkit agar tetap mandiri demi kelangsungan hidupnya.
***
Kisah pertama, semasa saya mengenyam di bangku kelas tiga sekolah dasar, ada seorang siswa -- sebut saja namanya Ana, sering mengoceh sendiri saat pelajaran berlangsung. Bapak atau Ibu Guru sering menegurnya, baik secara halus maupun sedikit bersuara keras agar dia memperhatikan penjelasan.
Usianya terpaut tiga atau empat tahun di atas saya yang seharusnya telah berada di kelas 6.
Menurut yang saya dengar dari kawan-kawan, Ana telah dua kali tidak naik kelas. Semasa kelas satu, ia tidak naik kelas. Tahun berikutnya ia berhasil lulus naik ke kelas dua. Bersyukur, selabjutnya Ana berhasil naik ke kelas tiga, itupun dengan nilai yang sangat pas-pasan untuk ukuran standar sekolah saat itu.
Sayangnya, Ana kembali tinggal kelas. Ia tidak naik ke kelas empat di tahun berikutnya. Saat itulah ia satu kelas dengan saya. Selama berkegiatan belajar mengajar, Ana mengalami gangguan konsentrasi belajar, sering meracau sendiri dan menjadi bahan godaan teman-teman dengan kebiasan latahnya.
Sependek ingatan saya, saat kami semua naik ke kelas empat, hanya Ana yang tidak naik kelas untuk kedua kalinya. Sehingga orang tuanya memutuskan agar Ana tidak melanjutkan sekolah lagi. Dengan alasan, malu dengan teman-teman sebayanya yang sudah hamlir lulus sekolah dasar, malu tidak terima dengan baik oleh kawan-kawan yang tak sebaya karena tertinggal kelas, dan mentalnya yang labil karena kondisi kepribadian dan kesehatan jiwanya.
Seiring perjalanan waktu, Ana menikah saat saya mengenyam sekolah menengah atas. Ia berusaha menyembuhkan dirinya yang suka meracau dengan mengobrol dan menyapa sesama tetangga dan mohon bantuan agar ia bisa diperhatikan layaknya manusia normal biasa. Dengan tenaga semampu dan sekuatnya, ia sering membantu kegiatan warga setempat.Â
***
Kisah kedua adalah simbok pijat langganan saya. Mak Ngat, demikian saya memanggil namanya sebagaimana saat kami pertama berkenalan. Hampir tiga belas tahun lebih saya berlangganan jasa beliau untuk urut atau pijat badan di saat raga sedang keletihan.
Pernah suatu ketika tanpa sengaja, saya perhatikan bahwa nomer kontak di gawainya hampir tidak tersimpan nama. Mak Ngat jarang membalas pesan singkat yang saya kirimkan. Jadi, lebih baik langsung telpon saja saat membutuhkan jasanya.
Hingga pada beberapa bulan lalu, ia memiliki gawai android masa kini. Dapat hadiah dari anak, katanya. Lagi-lagi, saat ia menerima telpon, hanya jajaran angka-angka saja yang tertera.
Ketika saya tanyakan mengapa tidak disimpan saja nomer itu dengan nama si pemilik, "Kulo mboten saget nulisaken," jawabnya polos. (Saya tidak bisa menuliskannya). "Paling nggih nomer anak kulo mawon, sing nuliske lare kulo." (Paling ya nomer anak saya saja, yang menuliskan anak saya).
Sambil memijat tubuh saya, mengalirlah secuil kisah dalam episode kehidupan Mak Ngat. Semasa kelas satu sekolah dasar, baru beberapa bulan menikmati bangku pendidikan, ia mengalami perundungan. Sering dipukuli saat pulang sekolah, diludahi teman sebaya atau kakak kelas di jam-jam istirahat, ditimpuk penghapus dan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.
Sejak saat itu, ia takut setiap kali hendak berangkat sekolah. Tak ada yang melindunginya dari perundungan. Ia hanya bisa menangis setiap kali mengikuti pelajaran. Selalu cemas memikirkan bagaimana keadaannya pulang sekolah nanti. Akhirnya Mak Ngat tidak mau sekolah lagi. Putus sekolah saat kelas satu SD. Saya miris mendengarnya.
Beliau mengakui, hanya bisa membaca terbata-bata, bisa menulis abjad, tapi belum paham sepenuhnya menyambungkan kata atau kalimat. Perjalanan hidupnya ia jalani tetap dengan rasa syukur. "Sing penting sehat, seger, waras, kulo nyambut ndamel mung modal jujur." Demikian ia menutup kisahnya. (Yang penting sehat, segar, sehat akal, saya bekerja hanya modal jujur).
Selama bertahun-tahun kerja serabutan dengan menerima pekerjaan bebersih rumah orang dan memijat para pelanggannya, kumpulan penghasilan Mak Ngat lumayan besar hingga bisa membangun rumah di kampung halamannya, ditempati oleh Ibu dan sanak saudara di Jawa Timur. Kini ibunda beliau sudah berpulang ke rahmatullaah.
***
Kisah ketiga adalah Bulik Yuli, ART saya yang masih setia dan berkenan bekerja untuk keluarga kami selama kurang lebih tiga belas tahun ini.
Baca juga:Â Kok, Awet Banget Bulik Kerja Denganmu, Mbak?
Bulik Yuli bersyukur sempat mengecap dan menyelesaikan pendidikan dasar dan melanjukan ke jenjang berikutnya di sekolah menengah pertama.
Entah apa sebab, saat tengah bersiap menghadapi ujian kelulusan di bangku kelas tiga, tiba-tiba orang tuanya memaksa dirinya menikah dengan lelaki pilihan mereka. Bulik Yuli benar-benar tidak paham. Tak ada omongan atau rembugan, yang pasti dia diminta berhenti sekolah dan disuruh kawin dengan lelaki yang usianya terpaut jauh dengannya.
"Kulo nggih mboten paham, yo opo sih wong tuwo. Arek lagi sekolah, diluk engkas bade lulus, malah dikon kawin. Akhire nggih medal saking sekolah, mboten lanjut. Padahal diluk ngkas kulo niku lulusan sekolah. Dados nggih mboten duwe ijazah SMP." Cerita Bulik mengenang masa itu. (Saya ya nggak paham, gimana sih orang tua. Anak sedang masa sekolah, sebentar lagi lulus, malah disuruh menikah. Akhirnya ya keluar sekolah, tidak lanjut. Padahal sebentar lagi saya itu mau kelulusan. Begitulah, ya nggak punya ijazah).
Alasan putus sekolah juga bukan alasan ekonomi. Selama itu, biaya sekolah selalu rajin dibayar oleh orang tuanya. Raport sekolah juga baik-baik saja, tidak pernah tinggal kelas. "Pokokmen ujug-ujug kon kawin, ngoten niku." (Pokok-nya tetiba disuruh menikah, gitu saja)
Di usia yang masih sangat belia dalam berumah tangga dan belum sepenuhnya mengerti keadaan membina mahligai, ia pun mulai bekerja sebagai buruh pabrik yang ada sekitar lingkungan kampungnya setelah memiliki dua orang anak.
Karena sesuatu dan lain hal, Bulik Yuli bercerai dengan suaminya setelah dikaruniai tiga orang anak. Lalu menikah lagi dengan teman sekerja yang berusia sebaya, berstatus duda. Mereka merantau ke Kota Tepian Mahakam. Qadarullah, dua bulan menetap di kota ini, beliau dipertemukan dengan saya melalui kawannya.
Dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dia miliki, Bulik rajin menabung dan selalu berusaha mengirim uang hasil keringatnya untuk simbok dan anak-anaknya dari perkawinan pertamanya. Ia berusaha membagi tabungan juga untuk anak semata wayang dari perkawinan kedua.
Bulik rajin bertanya kepada saya tentang hal-hal yang berkaitan dengan gawai dan urusan pelajaran sekolah anaknya, sembari ia mengingat pengetahuan dasar dan menengah yang pernah ia jalani. Bahkan ia menyempatkan diri untuk belajar mengaji di masjid dekat rumah tinggalnya setiap ba'da magrib.
Harapan dan doanya, anak-anaknya sukses, bersyukur mereka bisa menamatkan pendidikan minimal sekolah menengah atas. Bekerja dengan hasil halal. "Sinau terus mawon, mboten putus, teng pundi-pundi saget belajar kalih sinten mawon sing purun nguru'i," ujarnya tersenyum. (Belajar terus sajalah, nggak putus, di mana-mana saja bisa belajar dengan siapa saja yang mau memberi pengajaran).
***
Putus sekolah, lagi-lagi banyak alasan mengemuka. Meski disayangkan jika berhenti di tengah jalan, sebisa dan semampu kita membantu mereka agar tidak menjadi beban bagi masyarakat sekitar.
Bentuk bantuan bisa berupa waktu dan tenaga untuk mengajarkan hal-hal dasar seperti membaca, menulis dan berhitung bagi yang buta huruf. Atau pengetahuan dasar melalui buku-buku bacaan dan buku panduan sekolah.
Ini baru tiga kisah di antara puluhan, ratusan, ribuan dan jutaan cerita mereka yang mengalami putus sekolah.
Semoga anak-anak di sekeliling kita bisa menikmati masa-masa pendidikannya dengan nyaman dan gembira. Soal biaya sekolah, bisa dikompromikan dan diskusi dengan pihak terkait. Subsidi silang bisa pula dilakukan atas kesepakatan bagi orang tua yang mampu dan yang kurang mampu.Â
Dana sosial masyarakat bisa dihimpun untuk membantu mereka agar tetap bisa melanjutkan sekolah dan meraih cita-citanya, aamiin.
Salam sehat dan selalu bahagia.
***
Artikel 42 - 2023
Diikutsertakan dalam Event: Empati Kompasianer untuk Anak Putus Sekolah garapan Komunitas Penulis Berbalas (KPB)
Anak Putus Sekolah
***
#Tulisanke-487
#ArtikelPendidikan
#EventKPB2023
#AnakPutusSekolah
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H