***
Kisah ketiga adalah Bulik Yuli, ART saya yang masih setia dan berkenan bekerja untuk keluarga kami selama kurang lebih tiga belas tahun ini.
Baca juga:Â Kok, Awet Banget Bulik Kerja Denganmu, Mbak?
Bulik Yuli bersyukur sempat mengecap dan menyelesaikan pendidikan dasar dan melanjukan ke jenjang berikutnya di sekolah menengah pertama.
Entah apa sebab, saat tengah bersiap menghadapi ujian kelulusan di bangku kelas tiga, tiba-tiba orang tuanya memaksa dirinya menikah dengan lelaki pilihan mereka. Bulik Yuli benar-benar tidak paham. Tak ada omongan atau rembugan, yang pasti dia diminta berhenti sekolah dan disuruh kawin dengan lelaki yang usianya terpaut jauh dengannya.
"Kulo nggih mboten paham, yo opo sih wong tuwo. Arek lagi sekolah, diluk engkas bade lulus, malah dikon kawin. Akhire nggih medal saking sekolah, mboten lanjut. Padahal diluk ngkas kulo niku lulusan sekolah. Dados nggih mboten duwe ijazah SMP." Cerita Bulik mengenang masa itu. (Saya ya nggak paham, gimana sih orang tua. Anak sedang masa sekolah, sebentar lagi lulus, malah disuruh menikah. Akhirnya ya keluar sekolah, tidak lanjut. Padahal sebentar lagi saya itu mau kelulusan. Begitulah, ya nggak punya ijazah).
Alasan putus sekolah juga bukan alasan ekonomi. Selama itu, biaya sekolah selalu rajin dibayar oleh orang tuanya. Raport sekolah juga baik-baik saja, tidak pernah tinggal kelas. "Pokokmen ujug-ujug kon kawin, ngoten niku." (Pokok-nya tetiba disuruh menikah, gitu saja)
Di usia yang masih sangat belia dalam berumah tangga dan belum sepenuhnya mengerti keadaan membina mahligai, ia pun mulai bekerja sebagai buruh pabrik yang ada sekitar lingkungan kampungnya setelah memiliki dua orang anak.
Karena sesuatu dan lain hal, Bulik Yuli bercerai dengan suaminya setelah dikaruniai tiga orang anak. Lalu menikah lagi dengan teman sekerja yang berusia sebaya, berstatus duda. Mereka merantau ke Kota Tepian Mahakam. Qadarullah, dua bulan menetap di kota ini, beliau dipertemukan dengan saya melalui kawannya.
Dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dia miliki, Bulik rajin menabung dan selalu berusaha mengirim uang hasil keringatnya untuk simbok dan anak-anaknya dari perkawinan pertamanya. Ia berusaha membagi tabungan juga untuk anak semata wayang dari perkawinan kedua.
Bulik rajin bertanya kepada saya tentang hal-hal yang berkaitan dengan gawai dan urusan pelajaran sekolah anaknya, sembari ia mengingat pengetahuan dasar dan menengah yang pernah ia jalani. Bahkan ia menyempatkan diri untuk belajar mengaji di masjid dekat rumah tinggalnya setiap ba'da magrib.
Harapan dan doanya, anak-anaknya sukses, bersyukur mereka bisa menamatkan pendidikan minimal sekolah menengah atas. Bekerja dengan hasil halal. "Sinau terus mawon, mboten putus, teng pundi-pundi saget belajar kalih sinten mawon sing purun nguru'i," ujarnya tersenyum. (Belajar terus sajalah, nggak putus, di mana-mana saja bisa belajar dengan siapa saja yang mau memberi pengajaran).