Sependek ingatan saya, saat kami semua naik ke kelas empat, hanya Ana yang tidak naik kelas untuk kedua kalinya. Sehingga orang tuanya memutuskan agar Ana tidak melanjutkan sekolah lagi. Dengan alasan, malu dengan teman-teman sebayanya yang sudah hamlir lulus sekolah dasar, malu tidak terima dengan baik oleh kawan-kawan yang tak sebaya karena tertinggal kelas, dan mentalnya yang labil karena kondisi kepribadian dan kesehatan jiwanya.
Seiring perjalanan waktu, Ana menikah saat saya mengenyam sekolah menengah atas. Ia berusaha menyembuhkan dirinya yang suka meracau dengan mengobrol dan menyapa sesama tetangga dan mohon bantuan agar ia bisa diperhatikan layaknya manusia normal biasa. Dengan tenaga semampu dan sekuatnya, ia sering membantu kegiatan warga setempat.Â
***
Kisah kedua adalah simbok pijat langganan saya. Mak Ngat, demikian saya memanggil namanya sebagaimana saat kami pertama berkenalan. Hampir tiga belas tahun lebih saya berlangganan jasa beliau untuk urut atau pijat badan di saat raga sedang keletihan.
Pernah suatu ketika tanpa sengaja, saya perhatikan bahwa nomer kontak di gawainya hampir tidak tersimpan nama. Mak Ngat jarang membalas pesan singkat yang saya kirimkan. Jadi, lebih baik langsung telpon saja saat membutuhkan jasanya.
Hingga pada beberapa bulan lalu, ia memiliki gawai android masa kini. Dapat hadiah dari anak, katanya. Lagi-lagi, saat ia menerima telpon, hanya jajaran angka-angka saja yang tertera.
Ketika saya tanyakan mengapa tidak disimpan saja nomer itu dengan nama si pemilik, "Kulo mboten saget nulisaken," jawabnya polos. (Saya tidak bisa menuliskannya). "Paling nggih nomer anak kulo mawon, sing nuliske lare kulo." (Paling ya nomer anak saya saja, yang menuliskan anak saya).
Sambil memijat tubuh saya, mengalirlah secuil kisah dalam episode kehidupan Mak Ngat. Semasa kelas satu sekolah dasar, baru beberapa bulan menikmati bangku pendidikan, ia mengalami perundungan. Sering dipukuli saat pulang sekolah, diludahi teman sebaya atau kakak kelas di jam-jam istirahat, ditimpuk penghapus dan berbagai tindakan yang tidak menyenangkan.
Sejak saat itu, ia takut setiap kali hendak berangkat sekolah. Tak ada yang melindunginya dari perundungan. Ia hanya bisa menangis setiap kali mengikuti pelajaran. Selalu cemas memikirkan bagaimana keadaannya pulang sekolah nanti. Akhirnya Mak Ngat tidak mau sekolah lagi. Putus sekolah saat kelas satu SD. Saya miris mendengarnya.
Beliau mengakui, hanya bisa membaca terbata-bata, bisa menulis abjad, tapi belum paham sepenuhnya menyambungkan kata atau kalimat. Perjalanan hidupnya ia jalani tetap dengan rasa syukur. "Sing penting sehat, seger, waras, kulo nyambut ndamel mung modal jujur." Demikian ia menutup kisahnya. (Yang penting sehat, segar, sehat akal, saya bekerja hanya modal jujur).
Selama bertahun-tahun kerja serabutan dengan menerima pekerjaan bebersih rumah orang dan memijat para pelanggannya, kumpulan penghasilan Mak Ngat lumayan besar hingga bisa membangun rumah di kampung halamannya, ditempati oleh Ibu dan sanak saudara di Jawa Timur. Kini ibunda beliau sudah berpulang ke rahmatullaah.