Seiring perjalanan hidupku, meski tak lagi berdiam di rumah dinas, kami tetap ingin bersamamu. Keluarga kami pindah ke rumah pribadi, berdekatan dengan lapangan bercemara itu.
Kamu sangat bersahabat dengan menghadirkan pasar malam sebulan penuh selama musim giling tebu. Menyambut uparaca Manten Tebu, aku selalu menikmatinya sebagai penari bersama kawan-kawan sepermainan.
Dan, tiada dapat dielakkan...
Hari berganti bulan hingga bertahun kemudian, aku masih dalam pelukanmu. Di setiap lebaran, kamu hadirkan kembali kawan-kawanku yang merantau untuk bisa berkumpul dan saling bersapa. Kamu adalah pengikat hati kami 'tuk kembali.
Meski satu demi satu ada yang pergi dan tak kembali, dirimu tetaplah terpatri dalam kenangan. Tak terkecuali diriku.
Namun, apakah aku masih boleh menganggapmu sebagai kampung halamanku?
Terakhir dalam pelukanmu, mungkin telah puluhan tahun lalu, aku tak sempat kembali pulang menjumpaimu. Kediaman kami telah berpindah pemilik, yang masih satu ikatan persahabatan agar kenangan itu tetap terjaga.
Berpuluh tahun tak menyapamu, bahkan hingga semua telah berganti menjadi kawasan yang berbeda. Dirimu berbenah, dari sebuah desa industri, dan hampir mati dalam sepi, kini menggeliat menjadi bagian aktivitas para pencari rezeki.
Kini kau tersohor sebagai tempat singgah para pemudik di sepanjang jalan tol lintas kota sepanjang Pulau Jawa. Mulai dari Jakarta hingga Semarang, kau sajikan kenangan tempo doeloe pada mereka, nostalgia saat kita masih berpeluk masa.
Beberapa sahabat dan kerabat sesekali berkirim kabar padaku bila sempat bertandang sejenak di tempatmu.
Mereka tahu dan sangat paham, betapa jauh di lubuk hatiku, aku merindukanmu layaknya kampung halaman.