Jika jarak tempuh tidak terlalu jauh, saya mengantarkan kue-kue takjil tersebut kepada si pemesan dengan berjalan kaki, membawa satubtenong bersusun tiga.Â
Apabila jaraknya jauh, saya menggunakan sepeda atau berboncengan dengan kakak agar tenong (tempat kue berbentuk bulat susun tiga terbuat dari aluminium) tetap stabil dalam pangkuan.
Yang membuat saya senang, kadang-kadang saya dapat amplopan dari para pemesan, "Buat kamu lebaran ya, Nduk."
Amplop berisi beberapa lembar rupiah, saya serahkan ke Ibu. Sebagian Ibu tabung untuk biaya sekolah, sebagian dikasihkan ke saya untuk uang jajan. Hasil menerima pesanan takjil, ibu simpan kembali untuk modal belanja dan biaya kehidupan kami sehari-hari.
***
Sebagai hadiah telah membantu Ibu di dapur, beliau menyediakan Kolak Pisang Ubi, salah satu menu takjil wajib yang selalu ada ketika buka puasa di keuarga kami.
Bisa dibilang, sajian manis ini merupakan salah satu resep takjil buka puasa paling disukai di keluarga besar kami. Menu ini terdiri dari pisang dan ubi yang direbus di dalam kuah santan dan gula merah. Meski demikian, saya belum peenah membuatnya sendiri. Lebih sering menyantap hasil masakan Ibu atau kakak perempuan saya.
Kenangan memasak bersama di dapur bersama Ibu, dengan segala cerita yang mengalir membersamai kami, menjadi nostalgia abadi dalam benak saya.
Juga keceriaan menyusuri jalanan kampung, mengantarkan pesanan takjil dan berangkat tarawih bersama kawan-kawan, melintasi area tebu dan lapangan pabrik gula dengan jajaran pohon-pohon cemara, membuat saya merindukan suasana itu.
Usai tarawih, teman-teman berjajar rapi menerima pembagian takjil. Sahabat dekat berbisik: yang ini pasti buatan ibumu!