Hari ini aku berangkat.
Aku berharap kotamu tak dingin menyambutku. Aku hanya menyandang ransel kecil. Karena, memang, tak banyak yang kubawa: puisi-puisi yang tak pernah kutulis dan cerita, banyak cerita.
Cerita, nantilah, aku sedang memilah-milah, cerita apa dan dimulai dari mana. Kuharap, cerita-cerita ini akan mencairkan kebekuan senyummu.
Jam di stasiun kereta menunjukkan pukul 20.00. Itu berarti setengah jam lagi kereta akan berangkat.
Sengaja aku duduk dekat jendela. Bukan ingin melihat pemandangan di luar. Lagi, apa yang dapat dilihat di kegelapan malam? Memang ada terlihat sorot lampu jalan. Lampu-lampu dari papan iklan, sinar lampu yang terlempar dari dari balik kaca gedung-gedung. Berlarian ke arah belakang.
Dan kereta memang sudah bergerak.
Irama bantalan rel yang terlindas bagai musik latar kenanganku bersamamu di perjalanan ini. Meski kantuk menerpa, debaran gambaran bakal bertemu denganmu tentu tak dapat meninabobokkanku.
Sebesar apa nyalimu untuk menemuiku?
Suaramu kembali terngiang dan berputar-putar di rongga otakku.
***
Pulang kembali ke kota ini ada sesuatu yang menyergap jiwaku. Kebersamaan denganmu, melintasi jalanan berdua, menikmati sore hingga tak terasa malam telah jatuh.