Semasa kanak-kanak, keluarga kami mempunyai radio tape yang bisa digunakan untuk mendengar siaran melalui gelombang FM, AM dan SW. Juga untuk memutar lagu-lagu kesukaan dari kaset berpita.
Sependek ingatan saya di masa itu, bapak dan kakak perempuan nomer dua yang paling sering menggunakannya.
Bapak selalu standby setiap malam pukul 19.30 s.d 21.00 WIB untuk menyimak siaran langsung BBC dari London, baik yang berbahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris. Beliau mendengarkan dengan seksama melalui gelombang SW dan siap mencatat di buku notes-nya.
Menurut cerita ibu, demikianlah cara bapak mengasah listening dan writing melalui siaran kegemarannya, selain pula tayangan Pelajaran Bahasa Inggris TVRI bersama Anton Hilman atau Nisrina Nur Ubay.Â
Bagi pembaca yang sezaman dengan saya di masa kanak era tahun 1980-an, tentu masih ingat acara ini, selain Unyil dan Little House on The Prairie.
Nah, dengan menyimak langsung siaran berbahasa Inggris dari radio setiap malam, bapak menambah kosakata dan membuka kamus, serta mempraktekkan dalam pengucapannya.
Pernah saya diajak bapak ke kantor. Bersama rekan kerjanya, mereka bercakap-cakap menggunakan bahasa Inggris selama beberapa menit. Jika ada yang salah ucap, bisa kena denda dua puluh lima rupiah, dimasukkan dalam celengan kecil. Kelak dari kumpulan denda itu, mereka makan bersama di kantin pabrik gula.
Tentu saja kegemaran bapak membuat saya menyukai pelajaran Bahasa Inggris sejak sekolah dasar, meski secara akademik baru mendapatkan pelajaran ini saat di bangku sekolah menengah pertama.
Saya senang dan bangga saat beliau mendampingi administratur pabrik gula menerima kunjungan tamu asing dari Belanda atau Jerman.Â
Berkat kegemaran menyimak siaran radio, keuletan mengasah kemampuan berbahasa asing, baik Inggris dan Belanda, bapak mendapat kepercayaan menjadi guide dan translator setiap ada kunjungan tamu asing di kegiatan maintenance mesin-mesin pabrik.
Berbeda halnya dengan kakak perempuan kedua saya. Dia memakai tape recorder untuk merekam suaranya ketika belajar reading comprehension, kemudian memutar ulang guna cek hasil bacaan berbahasa Inggris. Selanjutnya berkonsultasi dengan bapak untuk cara pengucapannya yang benar.
***
Setelah bapak tiada, giliran ibu paling getol menikmati masa senggangnya dengan menikmati siaran dakwah di pagi hari dan sandiwara radio kesayangannya dari jelang siang hingga sore, sesuai jadwal tayang masing-masing serialnya.
Pada era pertengahan tahun 1980-an hingga 1990-an, itulah masa jaya sandiwara radio. Saur Sepuh, Tutur Tinular, dan Misteri Gunung Merapi, menjadi hiburan rutin ibu setelah seharian beraktivitas.
Terkadang saya ikut menyimak, tetapi tidak secara runut berurutan mengikuti kisahnya. Sesekali dapat cerita ulang dari ibu. Mengasyikkan.
Nah, giliran saya menikmati siaran radio berupa musik pengantar belajar di malam hari. Ya, saat sedang mengerjakan PR atau merangkum pelajaran di rumah, saya lebih nyaman sambil mendengarkan musik dan lagu. Jadilah suara para penyiar dan bertaburnya salam dari pendengar serta lagu permintaan mereka yang diputar, menemani keseharian aktivitas saya di meja belajar.
Pada hari khusus dalam sepekan sekali, ada radio AM saat itu yang memutar Country Love Songs selama 2 jam. Penyiarnya membacakan surat masuk tentang testimoni, curhatan, puisi dan lain-lain kiriman pendengar, kemudian memutarkan lagu permintaan mereka atau hadiah lagu dari si Penyiar yang menyesuaikan  isi kiriman surat.
Wah, senang pula saat surat saya dibaca dari sekian banyak yang masuk. Menyimak lagu dengan senyum mengembang saat sedang belajar atau jelang tidut malam. Menurut saya, suara penyiar itu memang renyah kayak kripik!
Kebiasaan mendengarkan lagu-lagu melalui radio ini masih terus saya lakukan hingga kuliah di Ibu Kota Provinsi. Hampir setiap malam bersama teman satu kamar, radio selalu menemani. Kalau setel di pagi hari, paling sampai jam tujuh pagi, karena kami pergi kuliah hingga siang.Â
Bedanya, permintaan lagu tak lagi menggunakan surat atau kartu pos seperti masa saya sekolah. Melainkan melalui telepon umum, menyampaikan permintaan lagu kepada operator radio. Mereka mencatatnya dan menyerahkan kepada Penyiar.
Jika program acaranya malam hari, kita bisa request di siang atau sore hari, untuk nantinya dibacakan dan lagu diputar pada saat acara. Itu pun jika beruntung dan ketika Penyiarnya baik hati!
***
Di luar dugaan, saya sendiri malah menjadi penyiar di salah satu radio swasta di bawah naungan PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia). Ini adalah organisasi radio siaran swasta yang eksis dan berizin yang terbesar di Indonesia.
Saya melamar pekerjaan ini melalui sebuah iklan kecil saat masa menyelesaikan skripsi. Niatnya untuk mendapatkan pengalaman kerja, mempraktekkan ilmu komunikasi yang saya miliki dan pelajari selama kuliah, juga untuk mendapatkan uang saku tambahan selain kiriman ibu dan kakak.
Melalui serangkain tes yang dilakukan oleh pihak radio, akhirnya saya diterima bekerja sebagai penyiar radio bersama rekan satu asrama dan adik kelas. Senang dan terharu bisa mandiri untuk mwndapatkan uang dari hasil kerja sendiri.
Berbekal ilmu, pelatihan dan kemampuan bercuap-cuap, jadilah saya sebagai penyiar radio di sana. Berbasis gelombang AM dengan segmentasi pendengar usia 50 tahun ke atas, radio tempat saya bekerja berada pada tagline tembang kenangan alias evergreen songs.
80 persen koleksi kaset dan piringan hitam radio tersebut adalah tembang-tembang lawas yang hits di masanya, baik lagu barat maupun Indonesia. 20 persennya adalah tembang baru di masa jelang akhir 1990-an. Maka makin akrablah saya dengan lagu-lagu era bapak dan ibu saya.
Semua lagu jadul lengkap tersedia, bahkan sampai genre keroncong dan langgam jawa. Para penyiar mesti berhati-hati memutar piringan hitam pada phonograph. Alat pemutar piringan hitam ini hanya ada satu-satunya di radio kami waktu itu yang eksis dan bisa digunakan memutar seluruh koleksi lagu.Â
Sehubungan harga jarum yang ada di pinggiran alat pemutar sangat mahal harganya. Jadi, jangan sampai patah gegara salah sentuh atau salah taruh pisisi saat memutar piringan hitam.
Kenangan menjadi penyiar tentu saja tak terlupakan. Adanya jumpa fans, mereka menebak-nebak wajah dan nama kami. Karena selama ini hanya dengar suara di udara, belum tahu yang mana orangnya. Apalagi para penyiar rerata menggunakan nama udara, bukan nama asli. Layaknya para penulis yang menggunakan nama pena.
Ada pula yang kirim kudapan atau makanan berat, lumayan buat menghemat pengeluaran makan bagi anak kost seperti saya. Lebih sering sih dapat kiriman begini saat bertugas mengudara di malam hingga jelang dini hari.
Selama hampir tiga setengah tahun menjadi penyiar, baru satu kali saja saya bisa ikut kopdar bersama para pendengar dengan melakukan piknik bersama ke luar kota. Sangat menyenangkan dan mengakrabkan kami.
Selama ini mereka membersamai dalam proses penyiaran, menyemarakkan acara yang kami pandu, ada yang kirim hadiah, makanan dan souvenir, serta kunjungan ke radio.
Setelah lulus kuliah, saya masih tetap siaran. Namun akhirnya saya mengundurkan diri setelah hampir sekian bulan tidak mendapatkan gaji sehubungan krisis moneter melanda dan pemasukan iklan sangat minim. Gaji pun saya terima rapelan setelah resign.
Kangen juga cuap-cuap depan mikropon radio!
Tetap salam sehat dan selalu bahagia!
***
Artikel 139 - 2022
#Tulisanke439
#DiarySiskaArtati
#Radio
#Penyiar
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H