Khadijah tertarik untuk menjadikan beliau sebagai suaminya. Pada saat itu Rasulullaah juga belum terpikir untuk menikah, karena usia masih muda dan sedang bergiat berniaga. Belum ada pilihan wanita dalam benaknya. Belum memikirkan tentang sosok wanita pendamping.
Namun Khadijah telah mengamati sejak lama akan kejujuran Muhammad dalam perniagaan. Pribadi yang terkenal dengan kebaikan akhlaknya. Tidak hanya jujur dalam menjalankan perdagangan keluarganya, namun juga karena kelebihan-kelebihan lainnya dari pribadi Muhammad yang membuatnya memantapkan diri untuk meminang lelaki yang dianggapnya memenuhi kriteria sebagai suaminya.Â
Hal ini juga diperkuat dengan pengamatan dari Maesaroh, seorang lelaki utusan Khadijah yang mendampingi Nabi selama kegiatan perniagaan. Ia senantiasa menyampaikan kepada Khadijah tentang perilaku baik Nabi dalam keseharian.
Lalu Khadijah yang saat itu berusia 40-an tahun mengajukan pinangannya terlebih dahulu kepada keluarga Muhammad. Pada saat itu, Mihammad muda tinggal bersama Pamannya yaitu Abu Thalib, sehingga Khadijah menyampaikan niatnya itu  kepada keluarga paman beliau.
Meski pinangan dilakulan terlebih dahulu oleh pihak wanita, namun dalam hal pembayaran atau pembemberian mahar, tetaplah dilakukan oleh calon suami kepada calon istrinya.
Islam membolehkan wanita mengajukan pinangan telebih dahuli kepada pihak laki-laki. Tak harus menunggu dipinang terlebih dahulu, atau merasa malu apabila berniat dan berhasrat kepada pria sholehah yang berakhlak baik. Ia bisa mengajukan lamarannya melalui wali atau keluarganya.
Sahabat Rasul mengajukan pinangan untuk putrinya.
Hal ini pula pernah terjadi di masa Muhammad SAW telah menjadi Rasul dan Nabi. Sahabat beliau, Umar bin Khaththab memiliki seorang putri bernama Hafsah yang telah ditinggal mati oleh suaminya karena gugur di medan perang.Â
Sebagai ayah, Umar berupaya mencarikan pendamping terbaik untuk putrinya. Bukan karena ia tak sanggup lagi menghidupi dan membiayai anaknya yang sudah menjanda. Melainkan berniat untuk mencarikan pengganti yang bisa mendampingi kehidupan putrinya berumah tangga.
Umar bin Khaththab mengajukan pinangan kepada Ustman bin Affan. Namun sahabatnya ini menolak, lantaran saat itu  ia tidak berminat menikah lagi. Demikian pula saat Umar mengajukan hal yang sama kepada Abu Bakar As-Shiddiq, beliau juga menolak dengan alasan yang sama.
Dua peristiwa ini terdengar hingga kepada Rasulullah SAW. Beliau mengetahui apa yang sedang diupayakan Umar bin Khaththab dan beliau tidak melarangnya.Â
Artinya bahwa seorang wali perempuan boleh saja mencarikan (calon) suami untuk dinikahkan dengan putrinya.
Pada akhirnya Hafsah menikah dengan Rasulullaah SAW. Kisah tentang Hafshah binti Umar bin Khaththab bisa pembaca simak melalui artikel ini.
Semoga bermanfaat.