“Ya, gak kenapa-kenapa sih, Mak." Ia meringis memandang wajah Emaknya yang masih asyik menyiapkan bahan membuat sambal.
"Cuma mau cerita saja, biar Emak nggak kecewa kalau nanti punya mantu." Pemuda itu menyeringai malu.
Emak tersenyum simpul. Tangannya gesit menggerus bumbu di atas cobek. Sesekali ia memeriksa masakan di wajan.
“Apa kamu pikir, kalau segala urusan seperti masak, nyuci, nyapu, ngurus rumah, dan tetek bengek begini, itu kewajiban perempuan, Le?" Emak bertanya lembut namun tegas penuh arti.
Pemuda bagus itu memandang Emak dengan tatapan tak paham.
"Ngene, lho, Le. Perlu kamu ketahui bahwa urusan yang Emak sebutkan tadi adalah kewajiban lelaki. Kewajibanmu nanti kelak saat kamu beristri dan berumah tangga." Lagi-lagi Emak pasang senyum manis dengan kerling mata sayang.
Tangannya sigap memcelupkan tahu dan tempe ke dalam adonan bumbu dan memasukkan ke dalam minyak penggorengan.
“Lho, bukannya Emak tiap hari melakukannya?” Mengernyit kening pemuda bagus, masih belum paham.
“Le, kewajiban Istri itu adalah taat dan mendapatkan kerelaan suami. Ndapetin ridhonya suami.” kata Emak mantap. “Karena Abahmu mungkin nggak bisa mengurusi rumah, maka Emak bantu mengurusi semuanya. Ya masak, ya nyuci, ya ngepel, ya ya ya lainnya," sambung Emak yang terus cekatan mengurus masakan di pagi yang masih berselimut kabut.
"Bukan atas nama kewajiban, Le, tetapi sebagai wujud cinta Emak sebagai Ibumu, juga wujud sayang Emak sebagai Istri yang mencari ridho suami. Ridho abahmu.” Emak melempar pandang pada anak lelakinya yang nampak serius menyimak tuturannya.
"Aku makin bingung, Mak." Pemuda berhidung mbangir menggaruk kepalanya yang tidak gatal.