Taruhlah kata, ada es batu yang dingin membeku berwarna bening, kita ibaratkan itulah anak-anak kita. Lalu, kita ingin es batu tersebut berubah berwarna merah. Caranya bagaimana?Â
Apakah kita tuangi dengan tinta merah?
Atau kita beri sirup berwarna merah?Â
Kan, tetap saja sebenarnya es batu tersebut tetap bening, luarnya saja yang merah melingkupinya.
Jika anak masih kekeuh, masih keras kepala, bersikukuh dengan pendapat dan sikapnya melawan orang tua, dirinya sedang berada dalam posisi es batu bening yang beku tadi.
Kalau kita ingin membentuknya menjadi es warna merah sesuai maunya kita dengan keras pula, tentu saja hal tersebut tak bisa terjadi. Kalau dipaksakan, malah esnya akan pecah dan hancur.
Caranya, harus dilelehkan dulu esnya. Buat ia mencair perlahan-lahan. Begitu pula ego orang tua terhadap anak, turunkan lebih dahulu, agar sama-sama mencair suasana batin dan pikiran. Sehingga orang tua juga akan mudah membentuknya menjadi pribadi yang kuat dan tangguh seperti es batu berwarna merah seperti yang diinginkan.
Menjadi es batu yang mencair tidak hanya bagi anak, tetapi juga untuk orang tua agar membersamai anak dengan ketenangan dan kesejukan saat mereka membutuhkan kita dalam proses kehidupannya.
Jika pun anak melakukan suatu kesalahan, anggap saja kita pura-puta tidak tahu dan tak perlu menegur saat itu juga dihadapannya dengan omelan. Supaya es batu yang menggumpal terus, bisa mencair terlebih dahulu, dan kita bisa bercengkrama dan berdiskusi dengan kenyamanan masing-masing.
In syaa Allah, melalui berbincang dari hati ke hati dengan anak, dalam suasana rileks yang kita bangun, maka frekuensi yang sama diharapkan mendapatkan solusi atas permasalahan yang dihadapinya.
Mereka merasa mendapatkan sandaran dan dukungan yang memberikan rasa aman dan nyaman dari orang tua.