Berkaca dari pengalaman pribadi, tidak mudah berhijrah untuk berkomitmen dan istiqomah mengenakan hijab.
Semasa studi di tingkat akhir menengah atas, ada lima kawan setingkat yang memutuskan mengenakan hijab di sekolah. Tempat studi kami adalah sekolah negeri. Bersyukur kepala sekolah dan guru mendukung dan tidak mengintimidasi untuk buka-tutup hijab bagi siswa muslimah. Pada era 1990-an, menggunakan hijab masih asing di sekolah negeri. Namun, memasuki era 1991, sekolah negeri memperbolehkan mengenakan hijab bagi siswa muslimah, tentu dengan syarat dan ketentuan yang berlaku.
Jujur, saya iri dan pengen mengenakan, tapi belum masuk pada tahap kesadaran penuh untuk melakukannya. Kakak saya sudah mengenakannya di masa itu, pun kesadaran dan pemahamannya tumbuh pada proses ta'aruf dengan calon suaminya. Itu pun belum disusul oleh kakak-kakak perempuan lainnya. Kelak mereka berhijab pun dengan kesadaran dan pemahamannya yang berproses dalam kehidupan masing-masing.
Saya mengenakan hijab dengan proses hijrah yang berbeda dengan kakak. Allah menyadarkan saya dengan cara-Nya, yaitu saat saya sedang mengalami sakit. Pada titik kritis yang menurut saya -pada saat itu - hampir sakramatul maut. Tiada henti beristighfar, mohon ampun pada-Nya. Meminta dengan penghambaan yang pasrah, kelak bisa berpulang dalam keadaan husnul khatimah.
Allah memberi saya kesempatan dengan nikmat sehat, nikmat hidup, nikmat kelapangan beraktivitas. Juga nikmat silaturahim, bertemu dengan komunitas pencinta Quran. Dia berikan petunjuk agar saya menemukan jalan hidayah itu.
Dengan meminta restu dan doa Ibu, saya memutuskan berhijab di saat Idul Fitri semasa kuliah semester 2. Sebelum memutuskan berhijab, saya banyak bertanya kepada kakak, kawan-kawan seperjuangan, dan komunitas muslimah lainnya. Tentu juga bertanya jawab dan berdiskusi dengan  dosen yang paham tentang agama Islam utamanya tentang hijab.
Saya mengenakannya tanpa paksaan dari keluarga atau orang-orang di sekitar pergaulan. Kesadaran ini tumbuh dan berkembang dalam proses kehidupan saya sendiri.
***
Berbeda halnya dengan Nakdis. Sebagai anak yang lahir, tumbuh dan berkembang dari keluarga kecil kami, ia melihat dan mencontoh dari orang tua, terutama saya sebagai ibunya.
Pula ia menyaksikan dari bude atau tantenya. Juga para tetangga, kawan-kawan muslimah saya, para guru dan orang-orang ditemuinya.Â
Ada pertanyaan yang muncul, mengapa mbak ini berhijab, yang itu tidak. Kami menjawab dan menjelaskan sebisa dan semampu kami sesuai dengan tingkat pemahamannya sebagai seorang anak.
Baca juga:Â Memilih Sekolah Berbasis Jaringan Sekolah Islam Terpadu untuk Anak