"Makasih, Mas. Masih ingat, tho? Tumben ngucapin segala." Fira mengerjapkan matanya lagi sembari mengatup bibirnya erat.
"Emmm...tetap masih lah, ingatanku taklumpuh soal itu. Meski sudah bertahun-tahun aku hampir tak menghubungimu lagi." Ada desah nafas berat di ujung kata.
"Semoga kamu berkenan saja, Fir." Kata itu kembali berulang, kini langsung dari bibir lelaki yang sedang tak karuan hatinya.
"Ya, Mas. Makasih atas doa dan perhatiannya. Silahkan kalau mau lanjut lagi aktivitasnya. Salam untuk nyonya, ya." Fira berusaha mengendalikan suaranya.
"In syaa Allah. Maafkan kesalahanku, ya. Salam juga untuk keluarga." Doni menghela nafas panjang. "Assalamu'alaikum."Â
Di pagi yang bergelanyut mendung, Fira membalas salam dan menutup sambungan telpon.
Senyum getir masih bergelanyut, mengenang sejenak saat dulu bersama lelaki pujaannya itu.Â
"Lumpuhkanlah ingatanku, hapuskan tentang dia, hapuskan memoriku tentangnya." *) Senandung lirih yang lebih pas sebagai gumaman.
Haruskah kuhapus saja kontaknya dari gawai?
***
Pria berkumis tipis itu kembali menyesap sisa kopi di cangkirnya. Pahit namun menyisakan manis di lidah.