Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Mau Sehat, Pilih Jamu atau Obat?

27 Mei 2022   06:16 Diperbarui: 27 Mei 2022   12:50 597
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jamu | kompas.com

Artikel yang diunggah oleh Bunda Siti Nazarotin - Kompasianer asal Blitar, Jawa Timur - tentang cara keluarga beliau mengonsumsi obat, menarik minat saya pula untuk menuliskannya. Karena apa yang dituliskan beliau membuat kami berbagi cerita tentang hal tersebut di grup perpesanan.

Masing-masing anggota punya cara sendiri bagaimana mereka meminum obat di saat kondisi tubuh sedang tidak atau kurang sehat atau mengonsumsi vitamin untuk menjaga daya tahan tubuh.

Saya sendiri, jujurly, benci dengan obat. Benar-benar tak suka. Bila kondisi tubuh saya sedang tidak sehat, turun stamina, lebih baik saya tidur dan istirahat lebih. Memanggil mbok pijat ke rumah untuk melakukan body massage, itu juga hobi saya untuk memulihkan stamina, serta olahraga ringan dan minum jamu atau seduhan herbal.

***

Ilustrasi gambar: motherandbeyond.id
Ilustrasi gambar: motherandbeyond.id

Sebenarnya sih, saya gak benci amat lah dengan obat. Ketika memang harus ke dokter, memeriksakan diri agar mendapatkan diagnosis yang tepat dari ahlinya dan mendapatkan resep, maka saya tetap menebusnya di apotek sebagai penawar agar cepat sembuh.

Tapi ya begitu deh, obat yang sudah ditebus, gak semua saya habiskan. Jika sudah meraaa enak dan nyaman, konsumsi obat saya hentikan.

Sebagaimana yang kita ketahui, obat adalah bahan yang hanya dengan takaran tertentu dan dengan penggunaan yang tepat dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosa, mencegah penyakit, menyembuhkan atau memelihara kesehatan.

Nah, masalahnya, saya punya pengalaman kurang menyenangkan setiap kali minum obat sejak usia kanak hingga sekarang.

Semasa kanak, kakak-kakak dan orangtua membimbing saya bagaimana menelan obat yang berbentuk tablet, pil atau kapsul. Saya tidak bisa langsung menelannya meski 'didorong' dengan segelas air putih ataupun sejumput kecil pisang sebagai medianya.

Selalu ada 'perang kecil' bila adegan minum obat berlangsung. Semua ngerubungi saya, memberikan semangat, yang justru membuat saya tidak nyaman dan menangis karena merasa dipaksa untuk 'sukses' menelannya.

Jangankan tertelan, yang masuk melalui tenggorokan justru pisang dan air minum, obatnya tetap saja berada di ujung atau tengah lidah. Itu selalu terjadi, dan mereka berseru, "lhaaa, ijeh ono kuwi!" (Nah, masih ada, tuh!). Sambil menatap saya dengan wajah gemas dan geleng-geleng kepala.

Akhirnya, saya gerus obat dengan gigi-gigi geraham di tengah 'lautan' air putih di mulut, baru kemudian ditelan. Perut kembung, biarin aja dah!

"Kalau gitu caramu minum obat, kan pahit, Nak," Ibu sedikit kecewa melihat saya meminum obat dengan cara ngremus. "Biar aja pahit, sing penting iso ngombe obat," jawabku tegas dengan setengah terisak.

"Heeeh? Ibu kasih jamu sekalian, lho!" Ancam ibu supaya saya kelak mau minum obat dengan cara yang benar. "Mending minum jamu aja, Bu. Meh pahit koyok opo, aku wani ngombe daripada mimik obat," jawabku. Bukan menantang sih, tetapi saya lebih baik minum jamu daripada minum obat tetapi selalu ada adegan obat tak tertelan malah pisang yang masuk.

Akhirnya, sebagai jalan tengah, ketika saya sakit, ibu meminta resep dari dokter berupa sirup atau puyer agar memudahkan saya meminumnya.

Jika yang tersedia berupa tablet atau kapsul, maka ibu menggerusnya terlebih dahulu atau membuka cangkang kapsul, menuangkan isinya dalam sendok bercampur sedikit air, dan dalam sekali telan, saya sukses minum obat.

Bahkan konsumsi vitamin berupa minyak ikan kemasan botol dengan bau amis menyengat, saya berhasil meminumnya, meski harus tutup hidung, menelan sungguh-sungguh agar tidak muntah. Bersegera makan buah yang tersedia untuk menghilangkan aroma amis yang senpat terhirup.

Ya, saya memilih obat atau vitamin berupa sirup atau puyer saja, agar tidakk terjadi drama.

***

Ilustrasi Jamu | kompas.com
Ilustrasi Jamu | kompas.com

Berdasarkan kejadian kurang menyenangkan saat minum obat, saya menanamkan sugesti pada diri sendiri agar selalu sehat dan sebisa mungkin jangan sakit.

Sejak kanak hingga remaja, justru saya rajin meminta ibu menyediakan jamu. Atau meminta ibu menemani saya minum jamu gendong atau di kedai khusus sekitar pasar tempat langganan berbelanja.

Seperti yang saya lansir melalui Kompas.com bahwa jamu adalah satu dari beragam minuman tradisional yang sudah akrab bagi kebanyakan masyarakat Indonesia sedari dulu hingga kini.

Selain gampang ditemukan, jamu juga dipercaya memiliki banyak manfaat kesehatan yang membuat orang gemar mengonsumsinya hingga setiap hari.

Menurut Founder Suwe Ora Jamu, Nova Dewi, jamu bisa dikonsumsi rutin setiap hari dengan takaran yang sesuai.

Entah karena kebiasaan itulah, saya jarang sakit. Hanya satu saja sakit kambuhan pada rentang remaja dan sebelum masa menapouse saat ini, yaitu nyeri haid. Itu hal yang alami dan tak bisa saya hindari setiap mengalami menstruasi.

Baca: Alami Dismenore, Begini Cara Saya Mengatasinya

Sebisa dan semampu saya, menjaga kesehatan agar tidak mengalami sakit parah, saya lebih menyukai konsumsi jamu sebagai vitamin.

Entahlah, saya merasa lebih nyaman dan kondisi tubuh lebih bugar dengan konsumsi jamu atau seduhan minuman herbal.

Jika membuat sendiri di rumah, saya meraciknya sesuai takaran yang dibutuhkan, karena meski terbuat dari bahan alami tentu tidak sembarang meramu dan meminumnya. Bahan dasar yang biasa saya gunakan adalah ketumbar, kayu manis, sereh, jahe, dan kunyit. 

Suami lebih menyukai dengan menambahkan madu pada seduhan herbal saat minuman cukup hangat agar tidak merusak khasiat madu.

Anak gadis saya pun tidak suka obat. Dia hanya mau minum jika berupa sirup. Sama seperti saya, tablet harus digerus atau ditumbuk dulu menjadi bubuk halus agar bisa langsung diminum sekali telan.

Apa mungkin melihat bundanya seperti itu saat minum obat, sehingga dia pun begitu? Padahal ayahnya mengajarkan minum obat sesuai perunjuk dokter atau instruksi dalam kemasan. Bahkan bisa menelan 2 atau 3 tablet sekaligus bila ada berbagai macam obat yang diresepkan. Sekalian, biar praktis, katanya.

Nah, pembaca Kompasiana, mau sehat, pilih jamu atau obat? Pilihan dan keputusan itu ada di tangan Anda sendiri, ya. 

Doa saya, salam sehat dan bahagia selalu!

***

Referensi bacaan: satu dan dua

Artikel 59-2022

#Tulisanke-359
#GayaHidup
#ArtikelKesehatan
#MinumJamu
#MinumObat
#NulisdiKompasiana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun