Jelang Bulan Ramadhan, beberapa kegiatan kajian khusus siap diselengarakan. Bahkan yang tadinya absen beberapa bulan karena pandemi, siap akan digelar kembali.Â
Grup WA Komunitas One Day One Juz yang saya ikuti pun, bersiap melatih diri untuk kholas (selesai tilawah) lebih dari satu juz dalam sehari. Aktivitas untuk mencapai target khataman Alquran yang dicanangkan, siap untuk bisa tercapai dengan semangat kuat.
Ya, beberapa hari lagi, ummat Islam menyambut bulan suci yang penuh berkah dan ampunan. Bulan yang lebih baik dari seribu bulan. Semua berlomba untuk meriah kemenangan di Bulan Suci Penuh Hikmah.
Dua-tiga orangtua menghubungi saya, guna mendiskusikan kegiatan tilawah anak-anaknya. Agar nanti selama Ramadhan, mereka tetap bisa menjaga rutinitas mengaji, meski tetap ada porsi bermain dengan teman sebaya. Pengennya sih, menunggu berbuka kelak tak dilewatkan dengan sekedar ngabuburit begitu saja, namun tetap mengisinya dengan kegiatan ibadah.
Bersyukur, Allah SWT memberikan nikmat sehat, nikmat silaturahim, nikmat ilmu, nikmat waktu, sehingga kesempatan yang baik ini tidak disia-siakan, berusaha mengisi umur yang ada dengan kegiatan bermakna. Tentu saja saya tidak menolak. Sebisa dan semampu saya mengatur jadwal, keinginan mereka agar saya membimbing belajar tahsin anak-anak, saya terima dengan senang hati.
***
Teringat masa kanak-kanak yang saya lalui bersama kawan sebaya. Baru segelintir saja yang benar-benar mau belajar membaca Alquran. Termasuk saya sendiri, yang berproses mengenal huruf hijaiyah pertama kalinya.
Saat masih tinggal di rumah dinas sebuah pabrik gula di era tahun 80-an, orangtua mendatangkan guru mengaji untuk mengajarkan kami. Saya tak ingat namanya, hanya memanggilnya dengan sebutan 'Bu Guru'.
Dua kali dalam sepekan, usai sholat maghrib, beliau tepat waktu datang ke rumah kami. Saya mendapat giliran terakhir usai kakak-kakak tilawah dan mengajukan setoran hafalannya.Â
Sependek ingatan, usia saya masih balita. Mengaji pun sembari menyimak bacaan Bu Guru lalu saya menirukannya sesuai panjang-pendeknya huruf-huruf yang tertera pada Alquran.
Mata saya berusaha fokus melihat barisan ayat-ayat suci, telinga mendengarkan suara Bu Guru yang lembut, tenang dan sangat fasih membacakannya. Itulah yang membuat saya merindukan kehadirannya mengajar di rumah kami.
***
Seiring berjalan usia memasuki sekolah dasar, Ibu meminta saya belajar agama Islam lebih intens melalui pembelajaran di Madrasah Diniyah, yang diselenggarakan siang hingga sore hari di tiap hari Senin, Selasa dan Rabu.
Seorang sahabat Ibu yang memberikan informasi tersebut, karena anaknya juga mengikuti pembelajaran disana, lalu Ibu tertarik mendaftarkan saya. Ternyata, anaknya tersebut adalah kawan baru saya di sekolah.
Sedikit terpaksa karena mengurangi jam tidur dan bermain, saya mengikuti kelas pertama. Namun, tak saya duga, ternyata belajar di Madrasah kala itu sangat menyenangkan. Saya mengenal bahasa dan huruf-huruf unik. Karena tak sekedar membaca, tapi juga menuliskannya.
Mulut saya tak henti-hentinya bergumam 'oooalaah, ini tho namanya huruf ba, tsa, jim' dan seterusnya. Ya, selama ini tahu dan kenal hurufnya, tetapi belum tahu cara menulisnya, begitu juga aturan: mana yang huruf yang bisa ditulis bersambung dan mana yang tidak.
Saat itu kami belum mengenal hijab secara sempurna. Sayanpun mengebakan kerudung segitiga ala Marsya. Menutupi rambut dan mengikat kerudung di belakang leher. Rambut panjang saya pun masih terurai di balik kerudung. Tak masalah, kata Pak Guru. Luruskan niat karena Allah untuk belajar. Baju yang dikenakan masih sederhana, asal sopan dan menutup aurat.
Hari-hari selanjutnya, saya menantikan hari-hari pertama di setiap pekannya untuk selalu hadir mengikuti Madrasah. Selain belajar bahasa Arab dan baca tulis huruf Alquran, juga mengenal sejarah Islam, kepahlawanan, Sirah Nabawiyah dan lain-lain.
Pelajaran yang unik dan menarik buat saya kala itu adalah khat, menulis halus huruf hijaiyah. Caranya justru menumpulkan ujung pensil, agar mendapatkan hasil tulisan yang lebih tebal seperti kaligrafi. Ustadz pembimbing sangat telaten mengajari kami menggunakan pensil dan cara menuliskannya.
Ada juga pelajaran Imla (dikte), yaitu menyimak bacaan dari guru, lalu kami menuliskan sesuai apa yang diucapkannya. Menulisnya harus benar sesuai mad thabi'i (harakat panjang pendeknya bacaan). Jika tulisan kami benar dan senpurna, Pak Guru tak segan-segan memberikan hadiah. Senangnya bukan main!
Pernah saya mengikuti lomba yang diadakan oleh Madrasah Diniyah ini dalam rangka menyemarakkan kegiatan keagamaan. Mendapat satu kejuaraan dan mendapat hadiah peralatan sekolah serta satu buku komik kepahlawanan Islam yaitu Khalid bin Walid, panglima perang ummat yang sangat tangguh.
Alhamdulillaah, saya bertahan mengikuti pembelajaran hingga lulus Madrasah dan mendapatkan ijazah. Meski bersekolah di sekolah negeri, namun menambah pengetahuan dan wawasan tentang agama Islam sepulang sekolah di sini.
Memandang anak-anak saat belajar mengaji, saya tersenyum sendiri, mengenang masa kanak di kampung halaman. Teringat perjuangan para guru dan kawan-kawan untuk bisa selalu hadir di kelas dengan penuh semangat.
Doa terbaik untuk para guru dan orangtua, yang senantiasa mengarahkan pada kebaikan dan bekal kehidupan dengan pedoman agama.
Ramadhan di depan mata, benarkah kita siap menyambut dan mengisinya?
Semoga Allah pertemukan kita dengan bulan penuh sukacita pahala, sehat selalu dan bahagia, aamiin!
***
Artikel 45 - 2022
#Tulisanke-345
#DiarySiskaArtati
#HurufHijaiyahPertamaku
#NulisdiKompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H