Melihat tampilan foto beliau, wah, pencinta pedas rupanya! Mie ayamnya versi nyêmêk, alias berkuah banyak. Dalam benak saya, membayangkan Mbak Wahyu menikmatinya dengan sruputan kuah yang maknyuuuus! Informasi dari beliau, seporsi mie ayam tersebut dibandrol sepuluh ribu rupiah saja.
Nah, beda lagi nih dengan sajian di Klaten, tempat Kompasianer Mbak Yuliyanti berdomisili, ketika menikmati mie ayam beserta rombongan keluarganya.
Melihat tampilannya saja, beneran bikin ngiler! Mie Ayam disajikan di atas krupuk pangsit yang besar dan lebar, sungguh menarik dan menggungah selera. Mau nyemek atau garingan, itu mah tergantung selera penikmatnya. Memang, warga +62 itu pencinta 'cheerleader' berupa kerupuk di segala makanan. Rame dan meriah.
Mbak Yuliyanti bilang, harga seporsi mie ayam tersebut sekitar duabelas ribu rupiah. Jika ditambah dengan bakso, bisa mencapai limabelas rupiah.
***
Sependek ingatan saya, mengenal kuliner satu ini saat usia bangku akhir sekolah dasar. Sebuah warung pinggir sungai di kampung halaman, memperkenalkan kuliner ini di tengah maraknya warung sate, bakso dan nasi goreng.
Semasa sekolah menengah atas, salah satu warung di kantin sekolah juga menjajakan menu ini. Saat hasil tabungan harian saya mencukupi untuk bisa membelinya, dengan riang hati saya menikmati seporsi mie ayam.
Kadang-kadang usai les privat bahasa Inggris, sahabat saya juga mengajak menikmati semangkuk atau dua mangkuk mie ayam di kedai langganan kami, dekat Masjid Agung Brebes.
Berjalan waktu, semasa kuliah di Kota Loenpia, warung langganan Mie Ayam yang biasa saya kunjungi, ada di ujung jalan masuk menuju asrama putri. Warung Mang Yok, namanya. Saat bernostalgia mengunjungi asrama di tahun 2016, warung tersebut masih eksis. Sayangnya, saya tak sempat mampir.
Nah, setelah menetap di Kota Tepian Mahakam, kegemaran menikmati kuliner ini jelas terus berlanjut. Meski mencoba berbagai sajian mie ayam di seputaran kota, Mie Ayam Cirebon garapan Kang Dakim-lah yang menjadi favorit saya.