Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kemarau dan Hujan, Hadirmu Tetap Kurindukan

2 September 2021   11:27 Diperbarui: 2 September 2021   11:49 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Diujung kemarau panjang
Yang gersang dan menyakitkan
Kau datang menghantar berjuta kesejukan
Kasih, Kau beri udara untuk nafasku
Kau beri warna bagi kelabu jiwaku

Suara manja Sang Burung Camar di tembang September Ceria senantiasa mengingatkan saya hadirnya bulan ini. Bulan yang mengingatkan bahwa beberapa waktu ke depan akan segera berganti tahun. Bulan pancaroba yang menjadi penjembatan pergantian musim dari Kemarau ke Penghujan.

Menjadi teringat tembang tersebut, karena liriknya menyematkan kerinduan akan hadirnya hujan yang menyegarkan dan menyemarakkan suasana gersang menjadi subur penuh cinta, ahay! Indahnya masa remaja.

***

Musim hujan yang sangat deras di Bulan Desember, tepatnya saya kurang ingat tahun berapa. Yang terkenang adalah saya masih duduk di bangku sekolah dasar sekitar kelas Empat atau Lima.

Cuaca jelang sore cukup bersahabat, tidak terlalu panas, mendung bergelayut, suasananya tenang, tak berteman gemuruh. Ibu meminta saya menjemput kakak perempuan yang sedang kursus menjahit di desa sebelah.

Tempatnya yang tak terlalu jauh, cukup ditempuh berjalan kaki limabelas menit. Menunggu sekitar setengah jam untuk kakak selesai membereskan pernak-pernik jahit di mejanya. Kami bergegas pulang ke rumah.

Ibu membekali payung untuk saya, berjaga jika tetiba hujan  turun. Langit mulai gerimis. Namun, yang terjadi justru angin kencang yang menahan kaki kami, berat melangkah melawan arusnya. Bahkan payung mengembang terbalik, kakak berusaha memperbaikinya. 

Sayang, kain tipis payung malah robek di beberapa sisi. Terpaksa payung dikerutkan. Kami setengah berlari melawan gerimis yang mulai menghujani dengan lebat.

Sungguh takdinyana, separuh perjalanan menuju rumah, kami disambut angin bergemuruh menyerbu desa. Hujan benar-benar tak mengenal ampun mendera. Kami sempoyongan hampir terbang ke bawa angin, berpegangan pada pohon di tepi jalan.

Sepasang petani bawang yang sedang berlindung di bilik bambu beratap terpal plastik, mendekat dan membantu kami untuk segera berteduh.

Saya dan kakak masuk ke dalam tenda kecil di pinggir sawah, bersisian dengan jalan desa. Berempat kami meringkuk, kedinginan. Kakak memeluk saya yang sudah mulai menggigil. Saya takut, benar-benar takut. Angin diluar sangat kencang bergemuruh, seiring dengan hujan besar yang menghantam bumi.

Bilik petani nyaris tercabut tersapu badai. Sekuat tenaga mereka memegangi terpal yang tersemat. Kami pun sempat mendengar derak-derak pepohonan yang jatuh di jalanan. Sungguh, ini peristiwa yang baru pertama kali saya alami.

Sekitar satu jam keadaan tersebut berlangsung. Saya menangis lirih dalam pelukan kakak sembari berdzikir. Lambat laun, hujan mulai mereda. Angin hanya sesekali menghantam terpal.

Melihat suasana mulai bersahabat, kami mohon pulang untuk segera berlari ke rumah yang tinggal beberapa ratus meter lagi. Dengan mengucapkan terima kasih atas pertolongan mereka, kami pun pamit.

Saya lebih dahulu berjalan cepat meninggalkan kakak. Ia melindungi saya dari belakang sembari membawa peralatan kursus yang telah basah kuyup. Sepanjang jalan, pemandangan jalan desa dipenuhi dengan reruntuhan ranting dan dahan, berserakan.

Alhamdulillaah, saya tiba di rumah dengan selamat, disambut ibu dan kakak yang lain. Rupanya semua listrik dipadamkan. Beberapa pohon tua ada yang roboh karena badai angin. 

Ibu langsung memandikan kami berdua dengan air hangat. Kakak saya yang lain menyiapkan teh hangat, prihatin melihat kondisi saya yang menggigil hingga bibir gemetar.

Sejak sore hingga pagi menjelang, saya tidur dengan nyaman dalam pelukan ibu, di musim hujan yang membuat saya terkenang kehangatan beliau.

Dan, satu lagi. Keseokan harinya, dari pagi hingga siang, saya dan kawan-kawan melakukan gladi bersih untuk tampil membawakan tari dan kesenian lainnya dalam rangka menyambut pergantian tahun di lingkungan perumahan pabrik gula.

Malam harinya, pentas seni tetap dilaksanakan sesuai jadwal, meski tanpa listrik. Sebagai gantinya, penerangan menggunakan pertromak, lilin, dan senthir (lampu minyak) Senter digunakan seperlunya untuk keperluan Master Ceremony mengantarkan rangkaian acara.

Ternyata, ada gunanya juga punya persediaan genset, sehingga acara berhasil terlaksana meski dalam keadaan listrik padam.

***

Lalu, apakabar dengan kemarau?

Ah, ingatan saya melayang saat asyik bermain layangan di lapangan depan rumah. Langit yang cerah, menampakkan biru yang mempesona. Berhias pemandangan sawah bawang dan tebu di sekitarnya. Batas cakrawala membentang dengan tanaman buah lainnya yang berayun manja disapa angin semilir.

Ya, layang-layang  andalan mulai disiapkan. Mulai dari layangan berhias tokoh kartun atau wayang dengan ekor panjang di sudut segi layangan. Pula kaleng dan benang gelasan, begitu saya dan kawan-kawan menyebutnya.

Musim kemarau sungguh ditunggu dan mengasikkan. Sepulang sekolah, usai sholat dan makan siang, langsung bergegas ke tanah lapang. Tak peduli terik menyapa kening kami dan mengucurkan peluh. Hanya ada keriangan, kegirangan dan teriakan suka cita bermain layang-layang.

Jika layangan sudah membumbung tinggi, kebiasaan saya segera berteduh di bawah pohon. Kaleng kosong pengikat benang gelasan, ditindih bagian dalamnya dengan batu-batu ukuran besar. Atau diselipkan di batu-batu besar yang ada di lapangan.

Sambil tiduran di atas rumput, di bawah pohon, kepala beralaskan tangan, memandang jernihnya langit, tertawa puas melihat layang-layang menari di atas awan.

Adrenalin bisa naik nih, jika tiba-tiba ada 'layangan musuh' mendekati layangan kami. Waaah, mereka mengincar agar benang terputus, maka saya dan kawan-kawan berteriak kencang untuk menyelamatkan posisi layang-layang. Seru!

Alhasil, setiap hari main layangan, badan saya demam dan kepala pening karena tersengat matahari. Berlama-lama di bawah teriknya, membuat badan saya greges tidak karuan. 

Empat hari tak masuk sekolah, Pak Guru bertanya tentang keadaan saya. Malu juga ya, alasan sakitnya karena bermain layang-layang!

***

Kemarau dan hujan, tak ada bedanya di Kota Tepian Mahakam. Cuaca bisa hadir suka-suka, kapan saja dia mau. Pagi hingga sore panasnya bukan kepalang, tetiba malam hingga dini hari hujan deras melanda.

Bisa jadi, di wilayah saya terang benderang dengan suhu yang bikin sumuk. Eh, di wilayah seberang kecamatan, hujan deras mengguyur hingga banjir menggenang.

Jarang saya melihat tanah retak melekah saat (harusnya) kemarau di sini. Tak seperti saat saya tinggal di kampung halaman di tanah Jawa. Kemarau dan Hujan, mereka bersisian hadir dalam waktu yang tak terlalu lama.

Seperti saat ini, hujan terus-menerus menyapa kami. Dan kenangan pun hadir silih berganti. Hadirnya kedua musim, tetap dirindu dan dinanti.

***

#tulisanke-245

#ArtikelKemaraudanHujan

Tulisan Diary Siska Artati hanya di laman Kompasiana, bukan di laman lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun