Saat itu beliau menjawab, selama ini tidak ada yang mengajukan atau menggunakannya. Maklum, jumlah karyawan wanita hanya sekitar enam orang termasuk saya sebagai karyawan baru.Â
Saya bersyukur, Undang-Undang Ketenegakerjaan dan Peraturan Perusahaan mengatur tentang hal tersebut.Â
Pasal 81 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.Â
Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan selanjutnya menyebutkan bahwa pelaksanaan cuti haid tersebut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Demikian pula dengan peraturan perusahaan yang berlaku saat itu, pun melindungi hak karyawan wanita untuk menggunakan hak cuti haid sebagaimana mestinya.
Adanya Cuti Haid Mendukung Kinerja Saya Selama Aktif Bekerja
Awalnya managing director yang merupakan pimpinan saya langsung adalah seorang expatriat dan belum paham mengapa saya tidak hadir selama dua hari di bulan pertama masuk kerja.Â
Kala itu, saya meminta izin tidak masuk kerja, memberitahukan kepadanya melalui SMS karena mendadak mendapatkan haid di hari kerja.Â
Setelah masuk kembali, saya pun menghadap dan menjelaskan sebisa dan semampu tentang hal pribadi berkenaan dengan siklus haid.Â
Didampingi oleh staff HRD yang paham dengan peraturan ketenegakerjaan dan peraturan perusahaan, beliau membantu menjelaskan adanya hak cuti haid sebagaimana yang dilindungi oleh negara.
"I make sure that I work better after resting during my period leave in the next days, Sir," demikian saya memastikan kepadanya dan menggunakan cuti tersebut sebagaimana yang diatur, bukan karena mangkir kerja atau mau leyeh-leyeh di rumah kost.Â
Alhamdulillaah, pak bos paham, bahkan pernah suatu kali manager admin mengecek langsung ke rumah kost saya, memastikan bahwa saya benar-benar sedang sakit akibat nyeri haid.Â