Jalanan lengang jadi teman malam seperjalanan,
terseok langkah menapaki tepi aspal yang kering nan berdebu,
iseng menendang kaleng kosong, digelandang,
bunyi kelontang ibarat musik pengantar pulang.
Tengadah wajah menatap langit yang tertutup dedaunan, rembulan pucat mengintip, meledek pada mimik muka sayu, 'rupanya kau sedang kehilangan pujaan', duga rembulan.
'Aaah!! Sok tahu, kau!!' Jerit batin pemuda layu.
Masih terseok langkah gontai,
Semangat hidup seakan kabur dari jiwanya.
Entah melayang kemana.
Yang dirasa hanya hampa, kosong, takberdaya.
Rebah di atas kursi tua di tengah taman kota,
Setitik demi setitik bening air mata mulai menyeruak,
Batinnya teriakkan hujat, gemeretuk geligi menajamkan rahang.
Tumbuh dendam yang entah kapan terlampiaskan.
Ia tertidur, di sana, di taman kota, berselimut kabut malam, berpeluk amarah yang tak berkesudahan.
***
Purnama menyiram kota, 25022021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H