Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jaras Dikata Raga Jarang

22 Januari 2021   10:54 Diperbarui: 22 Januari 2021   12:14 350
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar (olah pribadi aplikasi inCollage)

Pagi yang cerah kembali menyapa, udara sejuk mengaliri ruangan demi ruangan di rumah besar kediaman Daniar, membangkitkan semangat tersendiri bagi keluarga harmonis ini.

Gadis kecil berkucir dua itu bersiap berangkat sekolah bersama kawan karibnya hari ini. Siapa lagi kalau bukan Resti, teman pertamanya di sekolah.

Ibu dan Laras -- kakak sulungnya yang selalu cekatan namun takbanyak bicara--, tak kalah semangatnya. Seperti biasa, sosok yang dihormatinya itu bersibuk diri di dapur menyiapkan sarapan pagi, lalu menghidangkannya di meja makan.

Ibu sudah memasak semuanya. Ikan bandeng presto berbalut telur dadar tipis, tempe dan tahu bacem, sayur oseng kacang panjang berteman udang. Hmm.., harum sekali masakan Ibu! Sedapnya!

Laras menuangkan teh hangat di gelas-gelas yang sudah tertata. Tiya dan Widi -- kakak kedua dan ketiga Daniar-- kompak memeluk Laras, lalu duduk di kursi masing-masing bersiap sarapan. "Maturnuwun, Mbak Laras." Kerling mata dan senyum simpul Widi mengarah padanya.

"Ingat, ya. Pulang sekolah nanti giliran kalian beberes di dapur." Laras mengingatkan kedua adiknya sembari menyendok nasi dan menuangkannya ke atas piring si Bungsu. "Nggeh, mbaak..!" seru Tiya dan Widi kompak.

Bapak menghampiri gadis kecilnya, mencium keningnya, lalu duduk bersama.
 
"Pak, hari ini Niar berangkat sekolah bareng Resti, ya," ujarnya sembari memilih lauk yang terhidang.
"O, ya? Resti ke sini jalan kaki atau diantar ibunya?" Bapak bertanya sambil mengambil tempe bacem lalu mengunyahnya dengan nikmat. "Kemarin sih bilangnya jalan kaki sendiri aja. 'Aku berani kok, kan dekat saja rumahku ke rumahmu'. Gitu katanya, Pak."

"Ya udah, nanti kalau Resti sudah sampai di sini, kalian Bapak antar ke sekolah naik vespa.  Ayo kita makan dulu!". Kerdipan mata Bapak membuat si Bungsu senang bukan kepalang.
"Aseeeek!" Daniar berseru.

"Widi gak sekalian diantar sama Bapak? Kan dekat juga dari TK-nya Niar," sahut Widi di seberang meja. "Pekan lalu sudah diantar Bapak, kan? Gantian sekarang giliran adikmu dan temannya. In syaa Allah pekan depan Bapak sempatkan antar kamu lagi." Bapak menjawab.

"Janji ya, Pak!"  Widi menegaskan kembali, disahut anggukan kepala mantap dari Bapak.

Sarapan sudah selesai, semua bersiap dan berkemas. Kakak-kakak berpamitan kepada Bapak dan Ibu. Aku pun salim dan mendapatkan ciuman hangat dari mereka.  Segera Laras, Tiya dan Widi,  keluar dari pintu pagar samping rumah, menuju ke badan jalan, berbelok menuju bis sekolah yang sudah menunggu. Semua yang bersekolah di kota kabupaten akan segera diberangkatkan. Sedangkan Widi berjalan kaki menuju sekolahnya bersama teman-temannya yang bertemu di sepanjang perjalanan.

Ah, ternyata Resti sudah sampai di rumah sahabat baiknya.
"Sepatumu baru ya, Res?" Daniar  berbinar senang melihat alas kaki berwarna biru tua dengan hiasan kupu putih di atasnya.
"Iya, oleh-oleh dari Om Pino buatku."
"Cantik!" komentarnya dengan senyum lebar.
"Terimakasih, Niar!" Resti senang.

"Kita naik vespa, Res!" sautnya riang. "Wah, beneran nih? Gak jalan kaki, dong?" Dua gadis kecil berseragam merah kotak-kotak itu sontak tertawa bersama.

Bapak memanaskan kendaraan abu-abu kesayangannya. Suara mesinnya meraung-raung memekakkan telinga. Daniar mendorong pintu pagar, membukanya lebar-lebar. Bapak menaiki vespanya dan melajukan perlahan menuju jalan berkerikil samping rumah.

Bergegas Daniar dan Resti bersalaman kepada Ibu. Beliau mendaratkan kecupan sayangnya pada gadis bungsunya, yang berbalas dengan acungan jempol mungilnya. Daniar berdiri di belakang kemudi vespa, sedang sahabatnya duduk di belakang.

Ibu bersalam dengan Bapak. "Hati-hati, Pak! Bismillaah." Bapak membalasnya dengan lambaian tangan. Vespa pun melaju di atas badan jalan beraspal.

**


Menyenangkan sekali menikmati semilir bayu, melewati jalanan aspal yang bersih dan pohon-pohon rindang nan sejuk. Rambut Daniar yang sedikit ikal di bagian bawah, menari sesuai irama tiupan angin. Poninya takrapi lagi. Sesekali ia menyekanya agar tak menutupi pandangan. Sebentar saja, raungan si Abu-abu sampai di pintu gerbang TK Kencana Puri. Berdua gadis periang turun, memberi salam kepada Bapak. Beliau pun segera berputar balik menuju ke kantor.

Baru saja memasuki halaman Taman Kanak-Kanak, tiba-tiba ramai pemandangan di pinggir kolam air mancur. Semua anak berdiri mengelilinginya dan riuh terdengar teriakan semangat 'Ayo, ayoo, ayooo!' dan juga tepukan tangan beberapa anak. Sebagian yang lain tertawa terbahak, berseru menyoraki si Bocah di tengah kolam.

Daniar dan Resti setengah berlari menuju kolam, menyeruak diantara teman-teman. "Ada apa ini?" tanya Resti dengan pandangan ke tengah kolam.
"Raka melempar sepatu boot-nya Gani ke tengah kolam!" jawab Anin yang berada tepat di sebelahnya.

"Kok bisa sampai begitu?" Daniar penasaran dan merasa kasian melihat kejadian di depan mata. Tampak Raka sedang berjalan perlahan-lahan di tengah kolam dengan air setinggi pahanya. Celana pendeknya basah  Tangan kirinya berpegangan pada Bu Atik yang membimbingnya dari tepi kolam. Sementara badan Bu Atik sudah setengah membungkuk agar beliau tidak ikut tercebur di kolam. Percikan air mancur mulai membasahi baju seeragam Raka. Ia mulai menangis, sambil tangan kanannya menggapai menggambil sepatu boot dari dasar kolam.
Ternyata pegangan tangan kirinya terlepas. Raka terhuyung karena licinnya dasar kolam.

 Dan....byuuuur! Raka terjerembab, basah kuyuplah dia. "Huuuu...huuuuuu!" tangisnya pecah diiringi sorak sorai teman-teman yang menonton. Ia beringsut mengambil sepatu boot biru, berdiri dan berjalan pelan-pelan menuju tepi kolam sambil terus menangis.

"Ayo, anak-anak. Sudah! Yang lain segera masuk kelas!" seru Bu Ningsih membubarkan anak-anak dari tepi kolam. Sebagian beranjak menuju kelas, sebagian menunggu Raka yang baru keluar dan duduk di sisi kolam.

"Makanya, Raka jangan begitu lagi, ya!" kata Bu Atik sambil memeluknya itu handuk yang sudah disiapkan. "Raka boleh marah, tapi jangan merugikan orang lain." sambungnya sambil mengelap muka, tangan dan kakinya.

"Kenapa Raka marah, Bu Atik? Sampai melempar sepatu Gani." Daniar bertanya polos. "Nanti Bu Guru ceritakan dan menjadi bahan pelajaran agar tidak terulang lagi." sahut beliau kepada Daniar, Resti, Anin dan Wahyu. Mereka sahabat baik Raka. "Raka ikut Bu Guru, kita ganti dulu baju seragammu."

Berlima mereka mengikuti Bu Atik ke ruang guru. Teman-teman yang bubar sudah masuk ke kelas. "Eh, kalian kenapa jadi ngikut Bu Atik. Ayo, sana! Masuk kelas, Nak!" Kami tertegun sejenak, cekikian. Bukannya masuk kelas, malah ikutan masuk ke ruang guru.

Dhika dari kelompok Gajah memimpin doa bersama dipandu oleh Bu Zahra. Semua anak duduk dalam posisi rapi, siap mengikuti kegiatan hari ini.

"Selamat pagi, anak-anak!" sapa Bu Guru. "Se-la-mat pa-gi, Bu Zah-raaa! Se-la-mat pa-gi, te-man-te-maaan!" balas anak-anak serempak dengan suara riang.

"Baru saja kita melihat Raka berada di tengah kolam dan tercebur karena terpeleset, sehingga baju seragamnya basah kuyup. Tahukah kalian, apa yang menyebabkan Raka demikian?" tanya Bu Zahra sembari mengarahkan pandangan sekeliling kepada kami.

"Ituu, hmm..anu, ee.. Raka marah sama Gani, sampai melemparkan sepatu boot-nya ke kolam." sahut Anin sembari mengacungkan tangan kanannya. Bu Zahra tersenyum.

"Ya, Bu Guru. Raka marah karena Gani mengoloknya 'kamu kayak gajah, mirip banget. Badanmu gendut. Pantes saja kamu masuk kelompok gajah.' Begitu Bu," tiba-tiba Wawan menyahut dari seberang meja, kelompok Singa.

"Eeeeh, aku ngomong begitu karena dia duluan yang mengolokku! Raka ngata-ngata-in aku! Masa aku dibilang mirip singa, karena gigiku taring semua!" terdengar suara protes dari mja kelompok singa. Ya, itu suara Gani.

Teman-teman tertawa mendengar protes darinya. Semua paham mengapa Raka mengoloknya begitu, karena gigi Gani bagian atas keropos akibat keseringan makan permen, menyisakan gigi-geligi yang tidak rapi, berikut taring kecilnya.

"Nah, anak-anak, Bu Zahra tanya nih. Apakah mengolok-olok itu baik?"
"Tidak, Buuu!" sahut kami kompak.
"Apakah anak yang baik itu saling mengolok?"
"Tidaaak!" sahut kami, sambil tertawa lagi.
"Apa yang sebaiknya dilakukan Raka dan Gani sekarang?"
"Ber-ma-af-faaan!" seru kami semua.

Tepat saat kami berseru demikian, Bu Atik dan Raka memasuki kelas. Semua mata tertuju memandang Raka yang sudah tidak menangis lagi. Baju seragamnya sudah berganti dengan baju bagus persediaan di sekolah, langsung duduk di sebelah Wahyu.

"Anak-anak, Raka marah kepada Gani karena merasa diolok-olok. Tetapi Raka sudah mengakui kepada Bu Guru bahwa ia yang pertama memulai olokan tersebut. Rupanya justru Raka yang marah, sehingga mengambil sepatu boot milik Gani dan melemparnya ke tengah kolam. Sebagai hukuman atas perbuatannya, sengaja Bu Atik meminta Raka yang mengambil sendiri sepatu tersebut. Hingga terjadilah seperti yang kalian lihat." Pandangan Bu Atik yang teduh dan sabar menyapu seluruh mata anak didiknya yang duduk terdiam mendengar penjelasannya.

"Raka dan Gani, silahkan berdiri, Nak!" Bu Zahra memandang ke arah mereka berdua. "Maukah kalian saling bermanfaaan?" pinta Bu Guru yang cantik itu. Tampak malu-malu mereka mengangguk.

Bu Atik mengandeng Raka maju ke depan kelas, begitu juga Bu Ningsih menggandeng Gani. Mereka berdua berhadapan dan saling pandang.

Tiba-tiba mereka tertawa. "Besok kuceburin kamu ke kolam ya!" kata Raka. "Wooi, enak aja! Enggak!" balas Gani ketawa.

"Eh, katanya mau bermaafan, kok mulai olok-olokan lagi," sergah Bu Atik. Seisi kelas tertawa. Akhirnya Raka dan Gani bersalaman dan berpelukan. Semua bertepuk tangan. Daniar merasa lega.

"Ingat pesan Bu Guru, Nak. Jaras dikata raga jarang. Janganlah mencela orang lain, sedang diri sendiri ada celanya. Tak elok mengolok-olok, sedang diri kita ada jua kekurangannya. Kalau dicubit sakit, maka jangan kau cubit pula kawan. Hati sama-sama sakit. Saling memaafkan itu lebih baik dan melegakan perasaan. Paham, Nak?"


"Ya, Bu Guru!" Suara anak-anak kompak.

Daniar menoleh ke bangku sebelah. Resti mengumbar senyum padanya. Mereka megacungkan jempol bersama. Dalam hati terpatri akan nasehat guru dan orang tua, agar berteman dengan santun dan elok.

***

Kisah Daniar sebelumnya ada disini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun