Teman-teman tertawa mendengar protes darinya. Semua paham mengapa Raka mengoloknya begitu, karena gigi Gani bagian atas keropos akibat keseringan makan permen, menyisakan gigi-geligi yang tidak rapi, berikut taring kecilnya.
"Nah, anak-anak, Bu Zahra tanya nih. Apakah mengolok-olok itu baik?"
"Tidak, Buuu!" sahut kami kompak.
"Apakah anak yang baik itu saling mengolok?"
"Tidaaak!" sahut kami, sambil tertawa lagi.
"Apa yang sebaiknya dilakukan Raka dan Gani sekarang?"
"Ber-ma-af-faaan!" seru kami semua.
Tepat saat kami berseru demikian, Bu Atik dan Raka memasuki kelas. Semua mata tertuju memandang Raka yang sudah tidak menangis lagi. Baju seragamnya sudah berganti dengan baju bagus persediaan di sekolah, langsung duduk di sebelah Wahyu.
"Anak-anak, Raka marah kepada Gani karena merasa diolok-olok. Tetapi Raka sudah mengakui kepada Bu Guru bahwa ia yang pertama memulai olokan tersebut. Rupanya justru Raka yang marah, sehingga mengambil sepatu boot milik Gani dan melemparnya ke tengah kolam. Sebagai hukuman atas perbuatannya, sengaja Bu Atik meminta Raka yang mengambil sendiri sepatu tersebut. Hingga terjadilah seperti yang kalian lihat." Pandangan Bu Atik yang teduh dan sabar menyapu seluruh mata anak didiknya yang duduk terdiam mendengar penjelasannya.
"Raka dan Gani, silahkan berdiri, Nak!" Bu Zahra memandang ke arah mereka berdua. "Maukah kalian saling bermanfaaan?" pinta Bu Guru yang cantik itu. Tampak malu-malu mereka mengangguk.
Bu Atik mengandeng Raka maju ke depan kelas, begitu juga Bu Ningsih menggandeng Gani. Mereka berdua berhadapan dan saling pandang.
Tiba-tiba mereka tertawa. "Besok kuceburin kamu ke kolam ya!" kata Raka. "Wooi, enak aja! Enggak!" balas Gani ketawa.
"Eh, katanya mau bermaafan, kok mulai olok-olokan lagi," sergah Bu Atik. Seisi kelas tertawa. Akhirnya Raka dan Gani bersalaman dan berpelukan. Semua bertepuk tangan. Daniar merasa lega.
"Ingat pesan Bu Guru, Nak. Jaras dikata raga jarang. Janganlah mencela orang lain, sedang diri sendiri ada celanya. Tak elok mengolok-olok, sedang diri kita ada jua kekurangannya. Kalau dicubit sakit, maka jangan kau cubit pula kawan. Hati sama-sama sakit. Saling memaafkan itu lebih baik dan melegakan perasaan. Paham, Nak?"
"Ya, Bu Guru!" Suara anak-anak kompak.
Daniar menoleh ke bangku sebelah. Resti mengumbar senyum padanya. Mereka megacungkan jempol bersama. Dalam hati terpatri akan nasehat guru dan orang tua, agar berteman dengan santun dan elok.