"Kenopo aku digowo mrene?" (Kenapa saya dibawa kemari?) tanyaku kepada Mas Dan -sebut saja begitu- yang mengajakku ke ruangan ini.
"Kenapa kamu ganggu adik ini, hah?!" Mas Kim -juga sebut saja begitu- malah justru membentakku.
"Lah, kenapa marah, tho? Awakmu nesu karo sopo tho, Mas? Opo salahku?" (Dirimu marah sama siapa, Mas? Apa salahku?) Saya malah bingung. "Ono opo tho iki?" (Ada apa sih?)
"Sis, kamu sadar, tah?" Mba Kar -sebut saja namanya begitu- memegang lenganku, menelisik wajahku. "Ya, sadarlah, Mba. Ono opo sakjane?" (Ada apa sebenarnya?) saya beneran masih bingung.
"Dek, kamu tadi terlihat aneh ketika debat. Ekspresi wajahmu itu bukan Dek Siska yang kami kenal. Kami melihat ada sesuatu yang ganjil, gitu lho. Apalagi sinar merah dari matahari tadi, memancar ke ruangan menerpa kamu. Kok, tiba-tiba makin emosi begitu. Makanya saya nge-cut kamu bicara di forum." Mas Dan menjelaskan.
"Apanya sih yang aneh?" Saya menyapu pandangan ke mereka.
Saat itulah, tiba-tiba kejadian aneh itu muncul.
Kaki kanan saya terasa ada 'hawa' mengalir, dari paha turun ke lutut, dari lutut ke tulang kering, lalu ke mata kaki. Saya kaget bukan kepalang! Benda tak kasat mata itu seolah berjalan-jalan dengan enaknya di kaki kaki, tepatnya di bawah kulit. Saya benar-benar merasakan pergerakannya!
"Ya, Allah, opo iki, Mba?!" (apa ini?) seruku ke Mba Kar.
"Nah, tenan tho opo omonganku!" (Nah, benar kan apa saya bilang) Justru Mas Kim yang menyahut. Awal bicara dengan membentak, kini mendadak serius. Sejak tadi dia duduk di atas kursi memperhatikan  saya.
"Sis, kamu dzikir aja terus, nanti kita jelasin," Mba Fin -sebut saja begitu- yang sedari tadi diam saja duduk di sofa, kini menghampiri dan mengelus pundak saya.