Mohon tunggu...
SISKA ARTATI
SISKA ARTATI Mohon Tunggu... Guru - Ibu rumah tangga, guru privat, dan penyuka buku

Bergabung sejak Oktober 2020. Antologi tahun 2023: 💗Gerimis Cinta Merdeka 💗Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Versi Buku Cetak 💗 Yang Terpilih Antologi tahun 2022: 💗Kisah Inspiratif Melawan Keterbatasan Tanpa Batas. 💗 Buku Biru 💗Pandemi vs Everybody 💗 Perubahan Itu Pasti, Kebajikan Harga Mati - Ebook Karya Antologi 2020-2021: 💗Kutemukan CintaMU 💗 Aku Akademia, Aku Belajar, Aku Cerita 💗150 Kompasianer Menulis Tjiptadinata Effendi 💗 Ruang Bernama Kenangan 💗 Biduk Asa Kayuh Cita 💗 55 Cerita Islami Terbaik Untuk Anak. 💗Syair Syiar Akademia. Penulis bisa ditemui di akun IG: @siskaartati

Selanjutnya

Tutup

Humor Pilihan

Ora Ngapak, Ora Kepenak: Jam Weker

23 Oktober 2020   07:08 Diperbarui: 23 Oktober 2020   07:34 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

(Tulisan ini kisah nyata, pernah saya muat di menu Catatan - Facebook, pada 24 Juli 2009)

Ini kejadian saat libur semester jaman kuliah.

Sudah seminggu jam tanganku rusak karena jarum penunjuknya patah. Baterainya juga tidak berfungsi dengan baik meski sudah diganti dengan yang baru. Padahal hari itu tiba saatnya aku mau pulang kampung. Saat itu, rumahku masih di Brebes, Jawa Tengah.

Sudah terbayang bahwa perjalanan yang akan kutempuh dari Semarang ke Brebes, sekitar 4,5 jam (kalau naik bis). Tapi aku sudah memilih untuk naik kereta api saja, karena hanya membutuhkan waktu sekitar 2 jam. Itu pun hanya sampai turun di stasiun KA Tegal dan harus melanjutkan perjalanan lagi ke Brebes kira-kira setengah jam dengan angkutan umum.

Karena perjalanan yang cukup lama dan sudah pasti melelahkan, tentunya aku harus punya jam, untuk memastikan detail waktu, nantinya aku sampai di Kota Batang jam berapa, sampai di Pekalongan jam berapa, seterusnya sampai Pemalang, Tegal dan alun-alun Brebes. Belum lagi naik angkutan kota (angkot) menuju ke desaku.

Karena alasan di atas, maka kuputuskan untuk membawa jam weker kesayangan. Bentuknya kotak-kubus, berwarna hitam-kuning, ukuran lumayan sedang, kira-kira 10cm x 15cm x 10cm lah. 'Sing penting ana jam, gawa bae lah!' begitu batinku (Yang penting ada jam, bawa aja lah). So, kumasukkan jam weker ke dalam tas.

Singkat perjalanan, dari Semarang jam 7.10 pagi dan aku sudah tiba di alun-alun Brebes pukul 10-an, dan alhamdulilah langsung mendapatkan angkot menuju desaku.

Tapi, ini dia...

Berhubung penumpang angkot belum penuh -baru aku dan seorang penumpang penjual kain dagangan- maka si supir dan kernetnya masih santai saja sambil berkata padaku:

(logat ngapak mode on):
"Ngetem disit ya mbak, ngko ari wis penuh, nembe mangkat. Sing sabar ndhisit ya." Si Supir melirik melalui kaca spion untuk bercakap denganku. (Ngetem dulu ya, Mbak. Ntar kalau sudah penuh, baru berangkat. Sabar dulu ya).

Ya, ampun!  Aku gelisah pengen cepet pulang. Selain karena kondisi angkot yang panas, badan mulai keringatan. Untunglah satu per satu penumpang mulai memenuhi angkot. 

Posisi duduk saling berhadapan. Mulai dari tukang sayur dengan dagangannya pula, pelajar, pegawai. Yah, kira-kira sembilan orang berjejal duduk di belakang dan dua penumpang duduk di kursi depan, di samping supir.

Akhirnya, setelah 45 menit kemudian, angkot sudah penuh terisi. Sampai-sampai si kernet cuma bisa nangkring di lantai angkot.
"Okeee! Haaayuk, mangkaaat! Wis awan kiyeeehh!" teriak si kernet. (Oke! Ayo, berangkat! Sudah siang nih!).

Supir sigap menghidupkan angkotnya, mengucap Bismillah, lalu bertanya pada penumpang yang duduk disampingnya, "Jam pinten niki, Mas?" (Jam berapa sekarang, Mas?)

"Wah, ora duwe jam tangan. Lagi ora nganggo kyeh." (Wah, ga punya jam tangan. Lagi engga pakai nih.)

Supir menengok ke belakang. "Ana sing nggawa jam?" (Ada yang bawa jam?)

Sesama penumpang, termasuk diriku, saling lempar pandang, dengan isyarat mata mencari-cari siapa diantara penumpang yang membawa jam. Dan ternyata, tak ada satu pun yang membawa!

"Laka sing nggawa, mas! Wes, gagiyan mangkat baeee!" teriak salah satu penumpang (Ga ada yang bawa, Mas! Sudahlah, buruan berangkat aja).

Tiba-tiba si supir membalikkan badan, menghadap padaku --yang kebetulan duduk persis di belakang supir, "Mbak, masa mboten betho jam?" (Mbak, masa ga bawa jam?)

Dengan gerakan slow motion, aku membuka tas yang kupangku. Semua mata menatap diriku, seperti bingung. Ditanya bawa jam apa ngga, kok malah buka tas, bukannya melirik ke pergelangan tangan.

Aku cuma mengintip jam wekerku, tanpa harus mengeluarkannya dari tas. Namun, ternyata tanganku sedikit mengangkat jam weker sehingga menyembul dan terlihat oleh sebagian penumpang, terutama yang duduk di sebelah.

"Jam sewelas!" Kusahut sambil senewen karena sudah lama menunggu angkot ga berangkat juga. (Jam sebelas).

Si supir membalas dengan ketawa ngikik, "Halaaah..halaaah, mbaaak...! Mbok nggawa jam dinding bae sekalian! Jam weker mah tanggung!" sembari mulai melajukan angkotnya. (halah,halah, Mbak! Coba sekalian bawa jam dinding aja! Jam weker mah tanggung!). Langsung disambut ketawa seluruh penumpang seakan meng-aamiin-i si supir.

Ya, elaaah, si supir! Bukannya terima kasih malah ngledek!  

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun