Posisi duduk saling berhadapan. Mulai dari tukang sayur dengan dagangannya pula, pelajar, pegawai. Yah, kira-kira sembilan orang berjejal duduk di belakang dan dua penumpang duduk di kursi depan, di samping supir.
Akhirnya, setelah 45 menit kemudian, angkot sudah penuh terisi. Sampai-sampai si kernet cuma bisa nangkring di lantai angkot.
"Okeee! Haaayuk, mangkaaat! Wis awan kiyeeehh!" teriak si kernet. (Oke! Ayo, berangkat! Sudah siang nih!).
Supir sigap menghidupkan angkotnya, mengucap Bismillah, lalu bertanya pada penumpang yang duduk disampingnya, "Jam pinten niki, Mas?" (Jam berapa sekarang, Mas?)
"Wah, ora duwe jam tangan. Lagi ora nganggo kyeh."Â (Wah, ga punya jam tangan. Lagi engga pakai nih.)
Supir menengok ke belakang. "Ana sing nggawa jam?" (Ada yang bawa jam?)
Sesama penumpang, termasuk diriku, saling lempar pandang, dengan isyarat mata mencari-cari siapa diantara penumpang yang membawa jam. Dan ternyata, tak ada satu pun yang membawa!
"Laka sing nggawa, mas! Wes, gagiyan mangkat baeee!" teriak salah satu penumpang (Ga ada yang bawa, Mas! Sudahlah, buruan berangkat aja).
Tiba-tiba si supir membalikkan badan, menghadap padaku --yang kebetulan duduk persis di belakang supir, "Mbak, masa mboten betho jam?" (Mbak, masa ga bawa jam?)
Dengan gerakan slow motion, aku membuka tas yang kupangku. Semua mata menatap diriku, seperti bingung. Ditanya bawa jam apa ngga, kok malah buka tas, bukannya melirik ke pergelangan tangan.
Aku cuma mengintip jam wekerku, tanpa harus mengeluarkannya dari tas. Namun, ternyata tanganku sedikit mengangkat jam weker sehingga menyembul dan terlihat oleh sebagian penumpang, terutama yang duduk di sebelah.
"Jam sewelas!" Kusahut sambil senewen karena sudah lama menunggu angkot ga berangkat juga. (Jam sebelas).