Mohon tunggu...
Raden Siska Marini
Raden Siska Marini Mohon Tunggu... Dosen - Manusia Profesional

Seorang manusia yang percaya bahwa pendidikan adalah jembatan menuju perubahan. Dengan semangat membara, ia bercita-cita untuk menjadi manusia yang bermanfaat, menginspirasi mahasiswa bukan hanya di dalam kelas, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari. Selain mengajar, Siska aktif berkontribusi dalam berbagai proyek sosial dan penelitian, menjadikan setiap langkahnya penuh makna. Dalam dunia yang terus berubah, ia berkomitmen untuk membekali generasi masa depan dengan pengetahuan dan nilai-nilai yang kuat, sehingga mereka dapat berkontribusi positif bagi masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melawan Budaya Patriarki

22 November 2024   23:06 Diperbarui: 22 November 2024   23:14 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Perempuan sering kali dipandang dalam kerangka patriarki yang merendahkan posisi mereka dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks Indonesia, patriarki---sebuah sistem sosial yang mengutamakan dominasi laki-laki---masih mengakar kuat dan memengaruhi cara pandang serta perlakuan terhadap perempuan. Sejatinya, perempuan bukanlah obyek yang dapat dikendalikan atau diperlakukan semena-mena. 

Namun, kenyataannya, mereka sering kali ditempatkan pada posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki, baik dalam ranah domestik, sosial, maupun profesional. Untuk memahami fenomena ini, penting untuk mengulas budaya patriarki dalam konteks Indonesia, serta membahas solusi yang relevan dan mendasar dalam mengatasi ketidaksetaraan ini.

Patriarki sebagai Sistem Penindasan: Perspektif Teori Sosial

Patriarki, menurut Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex, adalah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai subjek utama dan perempuan sebagai objek yang terpinggirkan. 

Beauvoir menjelaskan bahwa perempuan tidak dilahirkan sebagai perempuan, melainkan menjadi perempuan melalui konstruksi sosial yang didominasi oleh laki-laki. Dalam masyarakat patriarkal, perempuan sering kali dilihat sebagai "lain," yang berada di luar norma dominan yang ditetapkan oleh laki-laki.

Selain itu, teori kritis dari Michel Foucault dapat membantu menjelaskan bagaimana kekuasaan dalam masyarakat patriarkal bekerja dengan cara yang lebih subtel, tetapi mendalam. Foucault berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya datang dari lembaga-lembaga formal, tetapi juga melalui praktik-praktik sosial yang terlihat sepele, seperti bahasa, norma, dan budaya yang membentuk perilaku individu. 

Dalam konteks ini, media, tradisi, dan norma sosial sering memperkuat dominasi laki-laki terhadap perempuan, menjadikan perempuan sebagai obyek seksual, dan merendahkan martabat mereka dalam banyak situasi.

Patriarki tidak hanya melibatkan ketidaksetaraan di ruang publik, tetapi juga dalam ruang domestik. Di dalam keluarga, misalnya, terdapat peran gender yang telah diprogramkan secara sosial, yang menempatkan perempuan pada posisi subordinat sebagai pengurus rumah tangga dan ibu, sementara laki-laki diharapkan menjadi pencari nafkah utama. 

Konstruksi sosial ini membatasi potensi perempuan, membuat mereka terkekang dalam ranah domestik dan tidak memiliki kebebasan untuk berkembang di luar peran tradisional tersebut.

Perempuan Sebagai Objek Seksual dalam Budaya Patriarki

Salah satu manifestasi paling jelas dari patriarki adalah bagaimana perempuan sering kali dipandang dan diperlakukan sebagai objek seksual. Di Indonesia, ini tercermin dalam banyak aspek media, dari iklan hingga program televisi, yang sering kali menampilkan perempuan dalam konteks seksual, dengan penekanan pada kecantikan fisik dan daya tarik seksual mereka. Fenomena ini tidak hanya mengurangi nilai perempuan sebagai individu, tetapi juga memperburuk objektifikasi perempuan dalam kehidupan sehari-hari.

Pandangan ini menyebabkan perempuan sering kali merasa tidak dihargai selain dari penampilan fisiknya. Berbagai studi menunjukkan bahwa objektifikasi seksual perempuan dapat meningkatkan risiko kekerasan seksual, pelecehan, dan diskriminasi terhadap mereka. 

Sebagai contoh, perempuan yang tampil dalam media dengan pakaian minim atau perilaku provokatif sering kali dianggap sebagai "pantas" untuk diperlakukan dengan cara yang tidak pantas, yang memperburuk stigma terhadap tubuh perempuan.

Dalam hal ini, teori objektifikasi seksual oleh Martha Nussbaum menjelaskan bahwa melihat perempuan sebagai objek seksual bukan hanya membatasi kebebasan mereka, tetapi juga merampas martabat manusia mereka. Nussbaum menyebutkan bahwa dalam situasi objektifikasi, perempuan diperlakukan seolah-olah hanya ada untuk memenuhi kebutuhan atau keinginan orang lain, tanpa menghargai otonomi atau subjekitas mereka.

Perempuan dalam Ruang Publik dan Kepemimpinan: Akses yang Terbatas

Selain masalah objektifikasi seksual, patriarki juga mempengaruhi peran perempuan dalam ruang publik, khususnya dalam hal akses terhadap kepemimpinan dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Meskipun perempuan di Indonesia sudah mulai menempati posisi politik dan sosial, gap gender dalam bidang ini tetap signifikan. 

Menurut data, perempuan yang memegang jabatan eksekutif atau legislatif masih sangat terbatas, dan mayoritas keputusan penting yang memengaruhi kehidupan masyarakat umumnya masih didominasi oleh laki-laki.

Pandangan bahwa perempuan tidak cocok dalam posisi kepemimpinan atau pengambilan keputusan berakar dari stereotip gender yang menganggap perempuan lebih emosional, kurang rasional, atau tidak mampu memimpin dengan tegas. Padahal, banyak perempuan yang menunjukkan kapasitas kepemimpinan yang luar biasa dalam berbagai bidang, dari politik hingga bisnis, yang membuktikan bahwa kemampuan tersebut tidak terikat pada jenis kelamin.

Solusi Konkret untuk Mengatasi Ketidaksetaraan Gender

Untuk mengatasi ketidaksetaraan yang dihasilkan oleh patriarki, dibutuhkan pendekatan yang sistematis dan menyeluruh. Beberapa langkah konkret yang perlu dilakukan antara lain:

  1. Edukasi dan Kesadaran Sejak Dini
    Mengubah pandangan masyarakat terhadap gender dimulai dengan pendidikan yang baik. Pendidikan gender harus dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah dari usia dini, dengan tujuan untuk membentuk pola pikir yang lebih adil terhadap peran laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Edukasi ini tidak hanya penting untuk perempuan, tetapi juga untuk laki-laki, agar mereka memahami pentingnya kesetaraan dan saling menghormati.

  2. Meningkatkan Akses Perempuan dalam Ruang Publik dan Kepemimpinan
    Kebijakan afirmatif yang mendukung partisipasi perempuan dalam politik, ekonomi, dan kepemimpinan sangat diperlukan. Salah satunya adalah dengan mewajibkan adanya kuota perempuan dalam jabatan publik, serta memastikan bahwa perempuan mendapat akses yang setara terhadap pendidikan tinggi dan pelatihan kepemimpinan.

  3. Pemberdayaan Ekonomi Perempuan
    Pemberdayaan ekonomi perempuan adalah kunci untuk mengurangi ketergantungan ekonomi yang sering kali membatasi kebebasan mereka. Program-program yang mendukung kewirausahaan perempuan dan akses ke sumber daya ekonomi harus lebih digalakkan untuk membuka kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk berperan dalam dunia kerja.

  4. Menanggulangi Kekerasan Seksual dan Diskriminasi
    Pemerintah dan masyarakat perlu bekerjasama untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap perempuan dari kekerasan seksual, pelecehan, dan diskriminasi. Penegakan hukum yang tegas, serta adanya sistem pendampingan bagi korban kekerasan, akan sangat membantu dalam menciptakan ruang yang aman dan setara bagi perempuan.

  5. Membentuk Budaya yang Menghargai Kesetaraan
    Media dan seni memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk norma sosial. Oleh karena itu, penting untuk mengubah representasi perempuan dalam media, dari objek seksual menjadi subjek yang memiliki otonomi, kekuatan, dan kapasitas dalam berbagai bidang. Ini dapat dilakukan dengan mendorong produksi konten yang menampilkan perempuan dalam berbagai peran yang kuat dan berdaya.

Kesimpulan

Perempuan bukanlah obyek yang dapat dipandang atau diperlakukan semena-mena dalam masyarakat patriarkal. Mereka adalah subjek yang memiliki hak, martabat, dan potensi yang sama dengan laki-laki. Budaya patriarki yang mendalam di Indonesia telah menciptakan ketidaksetaraan yang merugikan perempuan dalam banyak aspek kehidupan. 

Oleh karena itu, melalui pendekatan pendidikan yang lebih inklusif, kebijakan afirmatif yang mendukung kesetaraan, serta pemberdayaan perempuan di semua sektor, kita dapat bersama-sama membangun masyarakat yang lebih adil dan setara, di mana perempuan memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi dalam segala aspek kehidupan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun