Saya selalu bertanya pada Ibu, tentang kisah-kisahnya semasa kecil. Saya ingin merasakannya melalui tuturan Ibu. Saya ingin tahu apa saja yang berbeda dengan sekarang, dan tidak saya alami.
Begitu juga dengan kisah yang satu ini. Nostalgia Ibu saat Ramadan di masa kecilnya, karena masa kecil saya saat Ramadan tidak ada yang berkesan. Mungkin tempat tinggal menjadi salah sebabnya. Di kota pinggiran tentu tak semenarik dengan kehidupan di desa―tempat tinggal Ibu semasa kecil.
Ibu saya berasal dari DI Yogyakarta, tinggal di sebuah desa yang ada di Kabupaten Bantul. Saat itu sekitar tahun 1970-an, Ibu masih duduk di bangku sekolah dasar. Ketika Ramadan tiba, semua menyambutnya dengan sukacita termasuk Ibu.
Waktu itu belum ada pengeras suara. Jadi, azan dilakukan di atas pohon. Maksudnya, harus memanjat pohon yang tinggi kemudian azan dikumandangkan ketika berada di atas pohon. Pohon itu ada di halaman milik salah seorang yang terpandang di desa.
Saat Ramadan, Ibu dan teman-teman sebayanya saling menghampiri untuk berangkat salat Tarawih bersama. Dulu Ibu memakai jarik, bukan mukenah. Teman-teman sebayanya juga memakai jarik untuk salat. Ada juga yang menyebutnya dengan jarit. Kemudian, berangkat untuk salat Tarawih membawa oncor atau obor sebagai penerangan.
Ternyata, kondisi ekonomi saat itu menjadi salah satu penyebabnya. Perlengkapan salat menjadi barang yang mewah bagi orang-orang desa. Bisa makan saja, mereka sudah sangat bersyukur. Jadi, mereka menggunakan jarik sebagai penggantinya.
Hidup apa adanya, itulah yang tebersit di benak saya. Selagi berusaha, sementara menggunakan barang yang bisa dipakai terlebih dulu.Â
Kondisi ini sangat berbeda dengan saat ini. Semua orang lebih memilih menghalalkan segala cara untuk memenuhi kebutuhan, bahkan untuk memuaskan keinginan. Batas-batas tertentu pun diterobos tanpa pikir panjang.
Ibu juga menambahkan bahwa Islam saat itu belum seperti sekarang. Di desa Ibu, Islam mulai diperkenalkan saat Mbah Putri masih kecil. Mungkin sekitar tahun 1940-an. Tapi, masuknya Islam tidak berjalan dengan mudah karena warga sekitar masih memiliki kepercayaan yang dipengaruhi agama Hindu―Kejawen.
Semasa Ibu kecil itulah ada orang yang terpandang di desa yang mulai mengajak warga untuk memeluk agama Islam. Pringgitan yang ada di rumah orang tersebut dijadikan tempat untuk salat berjamaah dengan diterangi petromaks―lampu yang berbahan bakar minyak tanah.
Pringgitan adalah sebuah ruangan yang menghubungkan pendopo dengan rumah. Pringgitan ini berasal dari kata ringgitan yang merupakan bahasa krama dari wayang―tempat untuk mengadakan pertunjukan wayang.
Namun sekarang pringgitan ada di setiap rumah yang bergaya tradisional. Meski rumah tersebut tidak memiliki pendopo. Fungsinya juga sudah berganti. Sekarang, pringgitan digunakan sebagai ruangan untuk menerima tamu, acara pengajian, atau tempat keluarga besar berkumpul.
Islam masuk secara bertahap dan cukup lama. Tak ada satu pun yang memiliki mukenah. Kondisi ekonomi yang kurang, dan Islam masih samar di mata mereka saat itu. Ibu baru memiliki mukenah saat duduk di bangku sekolah menengah.Â
Tentunya sekarang sudah berbeda. Tidak ada yang tidak memakai mukenah untuk salat. Tempat ibadah―musala dan masjid―sudah kokoh berdiri di desa. Tak lagi perlu memanjat pohon lebih dulu untuk mengumandangkan azan. Tak perlu oncor dan petromaks, karena penerangan sudah lebih baik.
Begitulah salah satu kisah masa kecil Ibu saat Ramadan, yang membuat saya selalu tertarik untuk tahu kisah yang lain. Bernostalgia bersama Ibu tentang masa-masa yang tak pernah bisa aku lihat, sungguh seperti dongeng sebelum pagi. Dan, di akhir cerita Ibu mengatakan bahwa mereka―Ibu dan teman-temannya―merasa sangat gembira meski kondisinya saat itu serba kekurangan. Mereka tak peduli dengan jarik yang dipakai.
Orang-orang dulu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk bisa memenuhi kebutuhan mereka. Mereka tak sempat memikirkan keinginan. Orang-orang sekarang selalu berpikir bagaimana caranya agar keinginan mereka segera terwujud. Hingga lupa dengan kebutuhan pokok yang seharusnya lebih diprioritaskan. Pelajaran itu yang bisa saya petik dari kisah Ibu.
Salam
Tetap Semangat!
Selamat menikmati dongeng sebelum pagi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H