Sejatinya jika sudah berulangkali terjadi bencana yang sama, maka seluruh pemangku kepentingan harus berpikir bagaimana caranya agar bencana yang sama tidak terjadi lagi.Â
Jika terus berulang walau tidak di wilayah yang sama, tentu keamanan dan kenyamanan hidup masyarakat jadi terganggu, selain rasa cemas, rasa takut tetapi juga infrastruktur yang rusak tidak bisa melakukan aktivitas dengan normal.Â
Dampak kerusakan lingkungan yang cenderung diabaikan akibat eksploitasi sumber daya alam (SDA) mengakibatkan bencana yang mengganggu kualitas hidup manusia.
Berbagai bencana yang terjadi di awal tahun ini seperti jatuhnya pesawat Sriwijaya di kepulauan Seribu menewaskan seluruh penumpangnya, gempa bumi dengan magnitudo 5,9 di Mamuju/Majene Sulawesi Barat  menelan korban jiwa 81 orang, longsor di Sumedang Jawa Barat menewaskan 36 orang, longsor dan banjir di Manado Sulawesi Utara menewaskan 5 0rang, banjir di Kalimantan Selatan menewaskan 15 orang, banjir bandang di sungai desa Timbang Jaya Bahorok, kabupaten Langkat, Sumatera Utara dan erupsi gunung Semeru di Jawa Timur, gunung Merapi di Jogjakarta mengakibatkan hujan abu vulkanik di beberapa wilayah di sekitarnya, waspada bagi masyarakat yang tinggal di lokasi arah luncuran awan panas, dan beberapa kejadian angin puting beliung yang merusak bangunan di kabupaten Wonogiri.
Indonesia berada pada posisi rentan terhadap dampak perubahan iklim yang meliputi turunnya produksi pangan, terganggunya ketersediaan air, tersebarnya hama dan penyakit tanaman/manusia, naiknya permukaan laut, tenggelamnya pulau-pulau kecil serta punahnya keanekaragaman hayati.Â
Ketersediaan SDA secara kuantitas dan kualitas tidak merata, di sisi lain kegiatan pembangunan membutuhkan SDA yang semakin meningkat.Â
Kegiatan pembangunan juga mengandung resiko terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kondisi tersebut mengakibatkan daya dukung, daya tampung dan produktivitas lingkungan hidup mengalami penurunan, akhirnya menjadi beban sosial.
Bencana banjir bandang yang terjadi di beberapa wilayah disebabkan adanya penebangan pohon secara ilegal di hulu sungai, sehingga tidak ada lagi pohon yang bisa menahan laju air dari mata air maupun hujan yang turun akhirnya tanpa hambatan mengalir dalam volume besar membawa sampah-sampah, pohon, ranting, batu dan lain-lain.Â
Air banjir bandang terus mengalir ke dataran lebih rendah bahkan meluap dari sempadan sungai menghantam apapun yang ada di sekitarnya seperti rumah penduduk atau penginapan di daerah wisata alam.Â
Kedatangannya yang tiba-tiba membuat masyarakat tidak sempat menghindar apalagi jika terjadi di tengah malam saat penduduk sedang tertidur pulas. Korban jiwa dan luka akhirnya tidak terhindarkan, tanaman serta ternak hanyut terbawa banjir dan merusak infrastruktur lingkungan.
Semua ini akibat penataan ruang berdasarkan sistem, fungsi utama kawasan, wilayah administratif, kegiatan kawasan dan nilai strategis kawasan belum menjadi pedoman yang kuat dijalankan secara merata dalam pembangunan.
Agar bencana banjir tidak berulang terjadi (akibat perilaku manusia), negara wajib menyelenggarakan penataan ruang untuk sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Pada pasal 65 UU lingkungan hidup disebutkan Ayat 1. Â penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah dengan melibatkan peran masyarakat. 2. Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud ayat (1) dilakukan antara lain melalui:
a. Partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang,
b. Partisipasi dalam pemanfaatan ruang,
c. Partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.
Pada bencana banjir di Kalimantan Selatan, Â pemerintah memberikan izin usaha eksplorasi sumber kekayaan alam kepada para pengusaha, seringkali mengabaikan dampak lingkungan. Ada 553 izin usaha pertambangan (IUP) non_CnC dan 236 IUP CnC.Â
Pemerintah tidak mampu menghentikan deforestasi dengan memberi izin tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit di Borneo, demi mengutamakan  tujuan ekonomi akhirnya berdampak bencana yang membahayakan kehidupan masyarakat lebih luas.
 Perluasan perkebunan kelapa sawit saat itu juga hingga memusnahkan habitat Orangutan yang masuk dalam daftar spesies dilindungi. Jika ditarik ke belakang, sudah banyak biodiversity yang dirusak/hilang akibat perilaku manusia.
Secara umum salah satu faktor yang menghambat pembangunan adalah  Laju pertumbuhan penduduk yang sangat cepat akhirnya fokus pemerintah terus ditarik untuk menuntaskan jumlah  penduduk yang bertambah untuk kehidupan yang layak dan mendasar sesuai UUD 1945 pasal 28A, setiap orang berhak untuk hidup serta berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Karena sepanjang waktu hanya berfokus pada pengentasan jumlah sumber daya manusia (SDM) seringkali kualitas jadi terabaikan, terpenting bisa hidup wajar dulu.Â
Di sisi lain kehidupan manusia terus berkembang, butuh lingkungan yang mendukung untuk tumbuh dan berketurunan, akhirnya dengan kualitas masyarakat seadanya berupaya mengeksplorasi SDA tanpa mengikuti aturan yang berlaku dengan baik dan benar mengakibatkan lingkungan rusak secara masiv.Â
Jangankan pencapaian pada pendidikan formil, masih dibutuhkan lagi karakter/mental yang lebih terbuka dan bijak untuk bersikap dan bertindak bahwa apa yang dibutuhkan jangan sampai berdampak merugikan pihak lain. Jika mental ini sudah terbentuk, besar kemungkinan dapat meminimalisir bencana yang diakibatkan oleh perilaku manusia.
Aturan dalam penegakkan hukum pada pasal 69 UU lingkungan hidup, tidak taat pada rencana tata ruang yang mengakibatkan fungsi ruang berubah, dapat dipidana paling lama penjara 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Jika mengakibatkan kerugian harta benda atau kerusakan barang, dipidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah). Jika mengakibatkan kematian orang, pidana penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Namun rasanya UU pidana tersebut belum  mampu mencegah terjadinya bencana akibat kerusakan lingkungan yang bersumber dari giat ekonomi atau penataan ruang. Jika hukum dapat ditegakkan maka tidak sulit untuk menciptakan ekosistem yang seimbang bagi kehidupan (ekonomi, lingkungan dan sosial) yang berkelanjutan.
Melihat karakter Indonesia yang rentan bencana dibutuhkan pemimpin dengan kualitas kepedulian tinggi terhadap lingkungan, dalam setiap kebijakan pembangunan harus memasukkan unsur lingkungan di dalamnya agar dapat diukur seberapa besar dampak buruk terhadap lingkungan dan dapat ditekan.Â
Pemerintah harus mengevaluasi izin tambang dan perkebunan kelapa sawit (apalagi pohon sawit sangat banyak menyerap air). Giat eksplorasi yang menimbulkan bencana pada kegiatan konservasi lingkungan, perencanaan penataan ruang dan pengelolaan lingkungan hidup harus menjadi hal mendasar sebagai pertimbangan.Â
Pemerintah bertanggung jawab atas bencana ekologis  di hulu terkait perizinan industri ekstraktif dan di hilir soal disaster management sampai emergency responce.Â
Pembinaan  masyarakat oleh pemerintah dalam hal ini kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK), agar semakin sadar dan peduli serta bertanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan lingkungan sebagai penyangga kehidupan manusia, jika bisa hidup berdampingan dengan alam akan memberi kualitas hidup yang sehat untuk jangka panjang.
Dalam rangka mewujudkan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup maka dituntut untuk dikembangkannya suatu sistem yang terpadu sebagai sebuah kebijakan nasional perlindungan  dan pengelolaan lingkungan hidup yang harus dilaksanakan secara taat azas dan konsekwen dari pusat hingga ke daerah. Komitmen terhadap kelestarian lingkungan yang baik harus menjadi dasar bagi kehidupan masyarakat modern.
Jakarta, 26.01.2021
Dr. SusiLawati MA., M.Han
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H