Jadi muncul pertanyaan besar akhirnya, mengapa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memutuskan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta tenaga kerja (Ciptaker) menjadi Undang-Undang (UU) pada waktu yang tidak  biasa pada tengah malam saat orang berfokus istirahat dari giat sehari-hari dan pada masa wabah covid-19 yang belum juga mereda. Jika terkait produk legislasi yang diperuntukan untuk jangka panjang sejatinya dilakukan di waktu atau jam kerja agar memberikan legalitas yang kuat berdasarkan pertimbangan matang dari semua sisi.
Saat ini DPR memutuskan aturan baru terkait Ciptaker atau disebut omnibus law yang mengakomodir seluruh aturan terkait investasi, bisnis, pengusaha, buruh/tenaga kerja yang membuat sebagian masyarakat khususnya buruh merasa dirugikan karena tidak dilibatkan dalam proses perbuatan UU tersebut. Hal mendasar dan sangat umum bahwa jika sebuah produk RUU dijadikan UU yang mengatur sedemikian rupa terkait aturan bagaimana hak dan kewajiban dari tenaga kerja/buruh dan pengusaha/investor untuk memenuhi unsur adil dalam kerjasama (growth with equity).
Diketahui bahwa dalam proses RUU ciptaker tersebut tidak melalui proses sebagaimana mestinya sehingga menimbulkan kecurigaan bagi buruh/masyarakat. Jika hanya untuk mengumumkan sebuah kebijakan spontan misal tentang kenaikan harga BBM yang memicu gejolak, maka dilakukan tengah malam masih bisa dimakhlumi karena bukan sebuah produk UU sebagai payung hukum untuk jangka panjang. Jika sebuah produk legislasi dilakukan dengan tanpa melalui prosedur sebagaimana mestinya, dapat dipastikan ada hal yang tersembunyi/ menjebak yang dikhawatirkan akan merugikan buruh/tenaga kerja khususnya.
Sadar dalam kondisi wabah covid-19 yang berdampak ekonomi memburuk dan harus menghadirkan sumber ekonomi baru agar ekonomi negara dan rakyat bangkit, tapi tidak dengan membuat masalah baru dengan cara seperti ini.
Itulah yang menjadi keprihatinan dan perjuangan partai Demokrat yang dikomandoi oleh Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dalam membantu rakyat. Yang menjadi penekanan adalah urgensinya selain momen yang tidak pas karena situasi masih belum terbebas dari wabah covid-19, yang dari awal wabah masuk Indonesia tidak dilakukan tindakan cepat tanggap dengan melockdown wilayah pandemik terbesar saat itu (agar lebih mudah dan murah penanganan selanjutnya) dan tidak menyebar ke wilayah lainnya.
Akhirnya berlarut-larut  situasi dalam serangan wabah serta jumlah korban meninggal setiap hari terus bertambah dan dampak ekonomi terus memburuk. Situasi ini yang mendorong pemerintah semakin ingin mensahkan UU omnibus law (maksud baik namun jika salah momen) serta jika ditilik satu persatu poin-poin di dalam akan memberatkan kaum pekerja/buruh dan hanya menguntungkan para pengusaha.
Karena aturan yang dibangun mengarah pada ekonomi kapitalistik/neo-liberalistik mengingat masyarakat Indonesia memiliki karakter gotong royong dan ekonomi yang belum merata baik serta pendidikan masyarakat yang belum terdukung baik, memberatkan untuk menyesuaikan dengan pola aturan kerja yang demikian dapat berdampak pada semakin sulitnya kehidupan mereka karena saat ini pun mereka sedang kesulitan akibat wabah covid-19.
Diputuskan RUU Ciptaker menjadi UU pada saat situasi belum terbebas dari serangan wabah, itu menunjukkan bahwa upaya pemerintah dan seluruh komponen masyarakat yang selama 8 bulan ini berupaya untuk mengatasi agar terputus dari penularan virus dan membantu ekonomi masyarakat paling terdampak serta kebijakan-kebijakan ekonomi lainnya dan membuat banyak usaha tutup karena menghindari berkumpulnya banyak orang di ruang publik seperti di pertokoan, perkantoran menjadi sia-sia.
Jika terkait kebijakan yang menyangkut hajat hidup orang banyak yang disinyalir akan memunculkan pro dan kontra, sebaiknya diwaspadai bagaimana respon masyarakat yang merasa dirugikan dan akhirnya melakukan giat demo otomatis terjadi kerumunan orang, akan sulit untuk jaga jarak dan terhindari tidak tertular wabah dari orang tanpa gejala (OTG).
Pemerintah mungkin berpikir justru momen seperti ini tidak akan ada gejolak dari kebijakan yang diambil dan ternyata tidak diduga sebaliknya yang terjadi, masyarakat yang terimbas dari kebijakan tersebut tidak peduli lagi dengan wabah justru yang mereka khawatirkan mengapa pemerintah tidak memberikan perlindungan kepada mereka saat situasi berat seperti sekarang.
Pemerintah yang bijak sejatinya dapat mencari momen yang baik dan tepat untuk membuat kebijakan yang tepat pula. Dari sini dapat terbaca kinerja pemerintah, jika tidak paham psikologi rakyatnya itu sebagai tanda-tanda runtuhnya sebuah kekuasaan.