Dari data yang APIK terima, pengaduan kasus KDRT memegang porsi paling tinggi selama pandemi corona. Meskipun begitu, pemerintah kita belum sepenuhnya mengakomodasi dan membantu para korban toxic relationship.Â
Sehingga jangan heran, kesehatan fisik dan mental perempuan menjadi sangat rentan saat terjadi wabah. Belum lagi bila di saat yang sama di dalam rumah tangga, ia harus mengurus segala keperluan domestic secara mandiri.Â
Khususnya bagi keluarga dengan struktur sosial patriarki, di mana perempuan berperan sebagai pengasuh, pendidik, memastikan kesehatan keluarga, hingga menyiapkan makanan. Hal ini menunjukkan bahwa beban perempuan bertambah besar selama physical distancing.Â
Jika sudah seperti itu, ketika perempuan dianggap tak maksimal menjalankan tugasnya, kekerasan kerap dianggap wajar. Terlebih di masyarakat kita, melaporkan urusan privasi rumah tangga masih dianggap tabu. Padahal jika ada pasangan yang dicurigai berzina, perlakuan yang diberikan justru berbeda.Â
Oleh karenanya, kasus KDRT di Indonesia cukup sulit untuk ditindaklanjuti. Dan bila dilaporkan, terkadang para korban tidak memperoleh keadilan yang diharapkan.
Menilik efek domino dari dampak sistematis corona dan risikonya, tentu menafikkan peran politik sosial perempuan di ranah publik perlu dipertimbangkan kembali.Â
Sebab, seperti kata Nancy Astor, meski perempuan adalah subjek 'baru' dalam dunia politik, ia jauh lebih paham bagaimana rasanya menderita di bawah kepemimpinan patriarki yang kerap kali membuat mereka menerima beban ganda dan berada dalam pesakitan berkepanjangan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H