Lewat lima belas menit dari jam pulang reguler TPA, keduanya pun sepakat berdamai. Sembari mendongak malu, mereka akhirnya mengakui bahwa keduanya bersalah dan setuju untuk tidak mengulanginya lagi. sesaat setelah itu, mereka bahkan memutuskan kembali bermain bersama, bahkan dari kejauhan saya melihat mereka pulang ke rumah beriringan.Â
Tidak terlihat lagi sorot emosi, mereka malah terlihat asyik melangkahkan kaki sambil tertawa-tawa sampai saya terheran sendiri, 'bukankah mereka tadi bertengkar hebat?'
Melihat mereka berdua yang mendadak cair seolah tidak terjadi masalah apa-apa setelah terjadi kesalahpahaman, membuat saya teringat kondisi masyarakat akhir-akhir ini. Saya kemudian mengawang jauh... kapan ya kita sebagai orang dewasa bisa lebih lapang dada dan cepat berdamai seperti mereka?Â
Sedihnya, banyak konflik yang melibatkan orang dewasa justru menyisakan dendam berkepanjangan, bahkan hanya berbeda pilihan politik saja merambatnya hingga ke retaknya hubungan bisnis sampai keluarga. Padahal politisi di atas sana sudah mau ngopi bersama satu meja, eh kitanya malah masih betah untuk tak bertegur sapa.Â
Dan membandingkan hal ini dengan cerita anak TPA tadi sepertinya kok lucu sekali. Jika dinalar, bukankah dari segi akal dan emosi seharusnya orang-orang dewasa jauh lebih stabil?Â
Bar-tal dkk (2014) menyebutkan bahwa kesulitan penanganan konflik bukan hanya karena emosi tinggi dan beratnya mempertahankan kepentingan semata, namun bagaimana seseorang dibesarkan dan lingkungan sosial juga mempengaruhi individu untuk tetap berkonflik. Selain itu, sebagian besar orang dewasa ketika berkonflik hanya terfokus pada posisi mereka semata, tanpa berpikir jauh apa kepentingan dan kebutuhan mereka sebenarnya.Â
Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menyingkirkan ego sementara waktu dan selanjutnya mulai berpikir apa yang kedua belah pihak butuhkan dan mencari jalan tengah dari pusaran tersebut. Misalnya, bila kita berkonflik dan menginginkan pihak lawan dipecat, mari ubah pola pikir dan bayangkan bila kita ada di posisi yang sama.Â
Dari situ gali apa yang sebenarnya kedua belah pihak inginkan dan mulailah diskusi terbuka. Bila keduanya sudah mengetahui kebutuhan keduanya, tentu menurunkan egoisme dapat menjadi kunci agar perdamaian dapat terwujud dengan segera.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H